16). Moody

71 31 51
                                    

Vino meletakkan sebuah cangkir berbahan porselen lengkap dengan alasnya di meja kaca, tepatnya di dekat Cindy yang sedang fokus mengerjakan tugas kuliah di depan laptop. Suara benturan pelan antara cangkir dan permukaan meja membuat cewek itu menoleh ke sumber suara beserta pelakunya.

"Teh herbal baik untuk kesehatan," kata Vino pelan dan cowok itu meneguk tehnya sendiri setelah mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan Cindy.

"Lo suka teh herbal juga?" tanya Cindy takjub. Masalahnya, teh herbal bukanlah sejenis minuman yang bisa disukai oleh siapa saja.

Vino mengangguk. "Suka juga sih walau dominannya ke teh hijau. Gue denger lo suka teh herbal, makanya gue sengaja nyeduh ini buat lo."

"Oh, kirain."

"Kirain? Apa lo berharap gue juga suka teh herbal kayak lo?" tanya Vino penuh harap, tersenyum lebar hingga matanya membentuk eye-smile, yang seharusnya bisa menulari cewek manapun untuk ikut tersenyum.

Namun sayangnya, itu tidak berefek pada Cindy Naraya.

"Bukan gitu maksud gue. Lo nggak kerja?" tanya Cindy, matanya berfokus kembali ke laptop.

Vino menjawab setelah meletakkan teh herbalnya di meja kaca dengan super hati-hati. "Kerjaan gue fleksibel."

"Fleksibel?" ulang Cindy gagal paham, meski tatapannya tidak beralih dan jemarinya bergerilya dengan semangat di atas keyboard. "Gue denger lo karyawan kantor. Gimana bisa fleksibel?"

"Lo pasti denger dari Felina, kan?" tebak Vino, memperhatikan setiap gerak-gerik Cindy dengan ekspresi lucu. "Bahkan reaksi kalian sama persis. Tapi sebenarnya, itu bohong."

"Kenapa?"

"Ya... gue nggak mau aja kalo entar gue disuruh pulang ke Jakarta karena gue nggak ada kerjaan di sini," jawab Vino. "Bantu gue rahasiakan, ya?"

"Kenapa lo ngasih tau gue?" tanya Cindy lagi. Kali ini atensinya beralih dari layar laptop ke wajah Vino. "Terdengar aneh aja karena lo bohong sama keponakan lo sendiri, tapi malah bocorin rahasia ke orang asing yang bahkan belum lama ngenal."

Mendengarnya, Vino auto salah tingkah dan menggaruk bagian belakang lehernya. "Hmm... itu karena... ya... justru karena gue mau nutupin rahasia ini dari keluarga gue. Lo kan bukan keluarga gue, jadi nggak masalah. Hehehe...."

Cindy hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, bertepatan dengan suara pintu depan yang dibuka dari luar. Rupanya Felina.

"Lo lama banget pulangnya, Fel?" tanya Vino. "Tumben."

Ekspresi Felina tampak mengerikan saat ini sampai Vino mengira kalau cewek itu masih marah padanya. Oleh karena itu, selama beberapa saat dia terkesiap dan memilih untuk meneguk habis teh herbalnya dalam diam.

Felina sebenarnya mau menjelaskan kalau kekesalannya sekarang bukan disebabkan oleh Vino, melainkan karena perkataan cowok aneh bin sinting, tetapi urung dilakukannya karena terdengar suara berisik di belakang dan ternyata pelakunya adalah Felix.

Secara tidak terduga, ternyata mood Felix juga sama buruknya karena dia melepas sepatunya dengan gerakan yang agak berlebihan dan terlihat kernyitan dalam pada alisnya.

"Felix, kamu kok lama banget pulangnya?" gantian Cindy yang bertanya sementara Felina mengambil kesempatan untuk melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya.

"Memang jam segini kok pulangnya," jawab Felix sekadarnya sambil menoleh sekilas dengan nada bicara yang agak dingin. Lantas tanpa berkata apa pun lagi, dia juga menyusul jejak Felina.

"Kenapa sih mereka berdua?" tanya Vino heran, lebih kepada dirinya sendiri.

*****

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang