"Morning, Na!" sapa seseorang, membuat Felina yang sedang asyik membaca novel horor, mengalihkan atensi dan mengerutkan alisnya.
"'Na'?" ulang Felina, menatap Khelvin gagal paham. "Ini maksudnya, lo manggil gue?"
"Jelas dong, kan cuma kita berdua di sini. Nggak mungkin dong gue manggil salah satu karakter dalam novel horor yang lo baca," jawab Khelvin yang segera paham genrenya berdasarkan ilustrasi pada sampulnya.
"Nggak lucu. Masalahnya kalo gue nggak salah denger, lo manggil gue dengan sebutan 'Na'."
"Nama lo kan Felina. Bener dong panggil lo 'Na'?" tanya Khelvin dengan nada bingung, tetapi menyeringai ketika menyadari sesuatu. "Oh, mau dipanggil 'Sayang' nih?"
"BUKAN GITU MAKSUD GUE!" hardik Felina ngegas sementara Khelvin terbahak-bahak hingga mengalami kram perut. "LAGIAN KENAPA DUDUKNYA DEKET-DEKET, YA ELAH! MINGGIR NGGAK LO!"
Felina memberi isyarat lewat matanya yang besar pada jarak sempit di antara mereka, menegaskan kalau bangku panjang tersebut terlalu lebar untuk diduduki berdua.
Lokasi mereka sekarang berada di koridor dekat Auditorium SMA Berdikari untuk menghadiri upacara kelulusan. Semua murid tahun terakhir diizinkan bebas sementara para orang tua atau wali menghadiri pertemuan singkat untuk mendengar cuap-cuap dari Kepala Sekolah.
Mayoritas murid memanfaatkan waktu emas untuk menyerbu kantin atau jalan-jalan bersama teman segengnya sebagai momen terakhir murid SMA, terkecuali Felina karena dia lebih memilih tenggelam dalam dunianya.
Namun siapa sangka, dia malah diganggu oleh Khelvin.
Memang ya, ekspektasi selalu tidak pernah selaras dengan realita.
"Ups, sori." Khelvin berucap sambil menggeser bokongnya tidak lebih dari tiga sentimeter, membuat Felina geregetan parah.
"Lo cari gara-gara ya sama gue?" tanya Felina dingin. "Lo nggak lihat ya, bangku yang kita duduki sekarang tuh saking lebarnya bisa diduduki delapan orang? Atau apa perlu gue ambil meteran buat ngukur?"
"Iya deh iya, galak banget sih."
"Masih kurang! Geser lagi!"
Khelvin menghela napas panjang seakan tidak rela, tetapi dia tidak punya pilihan ketika menatap tatapan membunuh dari cewek itu. "Oke, oke."
"Oke, segini cukup," kata Felina datar setelah jarak keduanya layak dikategorikan 'berjarak'. Jika dideksripsikan, seorang siswa bisa menyalip di antara mereka.
"Lo nggak ke kantin, Na? Mumpung kita masih diizinkan bebas sebelum pengumuman kelulusan."
"Nggak," jawab Felina singkat tanpa menoleh karena atensinya kembali ke novel horornya.
"Eh, nggak terasa ya kita udah mau lulus aja. Lo rencana kuliah di mana, Na?"
"Belum tau." Felina menjawab lagi dengan nada menutup pembicaraan sekaligus menahan diri untuk tidak meledak.
Sayangnya entah Khelvin tidak peka atau sengaja, yang jelas cowok itu terus melontarkan pertanyaan, "Hmm... kalo gitu lo rencana masuk jurusan apa? Kali aja bisa samaan--"
"Lo kenapa sih jadi sok kenal sok deket sama gue?" tanya Felina setelah sebelumnya menutup novel dengan sekali sentakan keras. "Apa kemaren tendangan gue kurang? Atau salah tendang sampe kena saraf mana gitu?"
Niat Felina menyindir, tetapi siapa sangka Khelvin menganggukkan kepalanya dengan tatapan penuh meyakinkan. "Bener, Na. Kemarin tendangan lo mengena banget. Lo mau tau di mana tepatnya?"
"Di mana?" tanya Felina, seketika mulai percaya kalau tendangannya memang mengenai salah satu saraf milik Khelvin.
"Di hati gue," bisik Khelvin tepat ke telinga Felina setelah mencondongkan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...