3). Family in Relationship

134 45 88
                                    

"Beb, aku ada buat teh herbal. Kamu mau?" tanya suara lembut, membuat Felix mengalihkan atensinya dari dinding kaca yang menyajikan pemandangan malam. Dari sini, dia bisa menatap mewahnya gedung-gedung pencakar langit berhubung dia berada di lantai 25 sekarang.

"Boleh," jawab Felix sebelum menoleh kembali untuk melanjutkan aktivitas cuci matanya. Sejak tinggal di apartemen ini, suasana malam selalu menjadi favoritnya karena dia suka melihat kelap-kelip lampu yang memancar dari bangunan mewah, termasuk hamparan bintang di langit. Pemandangan tersebut menjadi obat yang ampuh untuk melepas rasa lelah dan bosan setelah beraktivitas seharian.

Cindy menyodorkan secangkir teh berbahan porselen beserta alasnya pada Felix, yang segera menyesapnya dengan perlahan. Terasa pahit—–memang, tetapi ada sensasi menenangkan dan aromanya enak di saat bersamaan, membuatnya melupakan masalah yang terkadang muncul dalam pikirannya.

"How's your day?" tanya Cindy, ikut menatap pemandangan di sebelah Felix dan sesekali menyesap teh herbalnya dengan anggun.

Felix tersenyum. Dia selalu suka dengan perhatian Cindy Naraya yang seperti ini. Baginya, cewek itu adalah sosok pengganti kakak dan ibu, mengingat dia tidak mempunyai keduanya.

Fakta mereka tinggal bersama menimbulkan kontroversi. Ada yang bilang mereka kumpul kebo, ada yang bilang kalau Cindy adalah sugar mommy-nya, ada yang bilang dia bucinnya Cindy atau sebaliknya, bahkan ada yang mengira mereka terlibat cinta terlarang karena sebenarnya memiliki hubungan darah. Meskipun demikian, Felix memilih untuk menutup mata dan telinga, karena seperti yang dia prinsipkan sebelumnya, Cindy Naraya adalah orang penting dalam hidupnya. Prioritasnya.

Persetan dengan judgement orang lain, Felix bersyukur mempunyai Cindy di sisinya.

"Cuma ngumpul-ngumpul doang sama temen di Cafe Young. Kalo kamu?" tanya Felix balik, menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding kaca untuk memusatkan perhatian pada Cindy.

Cindy tersenyum, kemudian meletakkan cangkir tehnya di meja kaca dekat sofa. Apartemen mereka memang seluas itu karena luas keliling sofanya saja lebih dari dua meter, belum lagi ada piano mewah yang bertengger cantik di ujung ruangan, menambah artistik dari desain interiornya. Namanya juga apartemen mewah golongan atas. Felix baru-baru ini mengetahui kalau apartemen ini kebanyakan dihuni oleh kalangan artis dan konglomerat.

"Hmm biasaaaaa... dunianya cewek, hehehe. Oh ya, temen aku kebetulan ngajak reuni nih. Temenin aku, ya? Kamu free kan besok siang?"

"Reuni? Wajib hadir, ya?" tanya Felix setelah menghabiskan teh herbal dan ikut meletakkannya di meja kaca. "Bukan apa sih, aku cuma nggak mau kamu dihina-hina sama mereka, walau aku juga tau kamu seneng bersosialisasi. Makanya, itu juga yang membuat aku selalu nggak enak sama kamu karena semua gunjingan itu gara-gara aku."

Cindy menghela napas pendek dan menepuk pundak Felix berkali-kali untuk menenangkannya. "Jangan ngerasa nggak enak, Beb. Aku udah bilang berkali-kali sama kamu dan sampai kapan pun omongan aku nggak akan berubah. Mau seperti apa gunjingan orang-orang ke aku atau bagaimana mereka mengucilkan aku, aku nggak peduli. Aku maunya sama kamu, Felix. Hanya kamu."

Ya, Cindy Naraya menyukai Felix sebagai perasaan cewek ke cowok, berbanding terbalik dengan Felix yang menyukainya sebagai keluarga. Cewek itu menganggapnya pacar meski mereka tidak pernah melakukan skinship seperti yang biasa dilakukan oleh orang berpacaran—–cewek itu tidak pernah mempermasalahkannya. Cindy selalu menganggap sikap pasifnya Felix hanya karena dia masih terlalu muda untuk ke tahap itu.

Malah lebih seringnya, Cindy juga menganggap Felix seperti saudaranya sendiri, seperti adik kandung yang telah lama meninggalkannya.

"Oke deh kalo gitu," kata Felix akhirnya setelah menimbang-nimbang sejenak.

"Thanks, Beb. Kamu memang pacar aku yang terbaik."

*****

Felix mengetuk jarinya di atas meja mengikuti irama sembari memandang Cindy yang asyik ngerumpi. Meskipun dia merasa lega karena teman-teman Cindy tidak mencemoohnya seperti yang dia kira, kenyataannya cowok itu sekarang merana karena bosan.

Tidak tahan dengan situasi ini, Felix memutuskan untuk pamit ke toilet. Alasan yang klise, tetapi cukup manjur. Lantas, dia segera melangkah keluar dari restoran berbintang lima itu.

Mengingat ini adalah restoran dalam hotel, wajar jika pengunjung yang berlalu lalang juga berasal dari lobi menuju kamar hotel. Dari sana, Felix bisa melihat panorama lift yang mana didesain transparan sehingga bisa melihat bagian dalamnya.

Selama beberapa saat, Felix terpana. Walau dari luar kelihatannya dia berasal dari keluarga berada, cowok itu sejujurnya tidak merasa segengsi itu untuk menunjukkan rasa kekagumannya.

Gimana ya, bisa dibilang baru kali ini cowok itu berkunjung ke restoran dalam hotel dan dia tidak pernah melihat lift transparan sebelumnya.

Teknologi zaman sekarang makin lama makin canggih aja, ya.

Felix ingin melanjutkan perjalanannya menuju toilet, tetapi langkahnya refleks berhenti ketika ekor matanya menangkap sosok yang familier.

Rupanya benar, Felix tidak salah melihat karena hanya dia yang mempunyai mata sebesar itu dan tubuh pendeknya juga menegaskan kalau dialah orangnya.

Meilvie.

Cewek itu sedang menelepon seseorang dan sama seperti Felix, ekor matanya juga tidak sengaja beralih padanya sekilas sebelum kembali lagi untuk memastikan.

Bedanya, Meilvie segera memasang ekspresi tidak suka. Felix kemudian melangkahkan kakinya ke arah cewek itu alih-alih menemukan toilet yang jurusannya bertolak belakang.

Cowok itu juga tidak paham mengapa dia memilih mendekati Meilvie di saat dia seharusnya mengabaikannya. Apakah dia merasa tergoda untuk memancing kemarahannya?

Entahlah. Yang jelas, dia sekarang merasa suntuk dan mungkin saja Meilvie bisa menjadi penawar untuk rasa bosannya.

"Hai," panggil Felix setelah dia berada dalam jarak pandang yang cukup, bertepatan dengan gestur Meilvie yang telah selesai menelepon. "Lo masih inget gue, kan?"

"Siapa, ya?" tanya Meilvie, meski ekspresinya tidak cocok karena dia terlihat kesal. "Gue lupa."

"Masa sih?" tanya Felix, cukup tahu kalau Meilvie memang sengaja lupa padanya. "Padahal baru semalam ketemu—–yaaaa walau sekilas doang sih."

"Nggak penting kalo gitu, kan?" tanya Meilvie dingin. Mata besarnya menatap galak hingga Felix sempat dibuat takjub karena matanya yang masih bisa dioptimalkan lagi.

"Saran gue, kalo memang nggak sepenting itu, seharusnya lo nggak perlu tunjukkan ekspresi kayak gitu, kan? Semua orang bisa langsung nebak kalo lo memang ngenal gue," ujar Felix, menatapnya dengan tatapan jenaka. Jelas, dia menertawakan tingkahnya.

"Trus mau lo apa? Ngenal lo atau nggak, sama aja. Sama-sama nggak penting. Lebih tepatnya, kayak nggak ada kerjaan aja."

"Mau gue? Emang kalo gue bilang, lo mau penuhi permintaan gue?"

"Ogah."

"Ck. Ngapain nanya kalo gitu? Dasar PHP," ledek Felix sembari mencibir, membuat Meilvie semakin kesal. "Lo ngapain di sini? Nggak mungkin mau nginep di hotel, kan?"

"You're not that important to know anything about me, so please mind your own business, okay?"

Lantas tanpa menunggu respon Felix, Meilvie meneruskan langkahnya ke arah lift menuju kamar hotel. Rupanya dia menemui seseorang karena ada cowok bertubuh jangkung yang menunggunya di dekat meja resepsionis. Keduanya kemudian berjalan beriringan dengan kepala yang mendekat satu sama lain untuk mengobrol.

Felix heran sendiri karena dia merasa kesal. Apakah ini semata-mata karena diabaikan atau karena dia melihat kedekatan Meilvie dengan cowok lain?

Entahlah. Sekali lagi, Felix tidak kunjung menemukan jawabannya. Yang jelas, dia merasa rasa suntuknya bertambah dua kali lipat dari yang tadi.

Bersambung

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang