26). What Exactly the Point

67 29 48
                                    

Herfian berpikir dia tidak akan pernah bertemu dengan istrinya lagi pasca insiden itu, terlebih ketika dia memilih untuk menghilang begitu saja tanpa menjelaskan.

Fakta tidak ada satu pun dari mereka yang protes atau setidaknya bertanya, Herfian berpikir semua akan membaik seiring berjalannya waktu atau mungkin ada secuil harapan dalam batinnya, berharap mereka menyusul ke Bandung untuk memborbardirnya dengan sejuta pertanyaan.

Sayangnya tidak. Sebulan, dua bulan, bahkan hitungan tahun tidak ada yang mencarinya. Herfian sempat berpikir seharusnya dia adalah pihak yang menjelaskan, bukan pihak yang harus menunggu untuk didatangi duluan, tetapi di satu sisi bisa disimpulkan kalau pemikiran kekanakan yang berhasil mempengaruhinya kala itu.

Semakin lama Herfian tenggelam dalam pikirannya, semakin besar persepsinya bahwa eksistensinya tidak lagi penting bagi Nirina dan bertepatan pada saat itu juga ada sebuah situasi yang menyebabkan keputusannya untuk kembali ke Jakarta pupus begitu saja.

Ingatan Herfian kembali ke masa di mana dia menghadapi dilema....

Sekaleng soda dingin ditempelkan oleh seseorang ke salah satu pipi Herfian, membuat pria itu terlonjak dan memaksanya kembali ke dunia nyata.

"Masih galau ya, Kak?" tanya pelaku yang menempelkan minuman tadi, mengabaikan tatapan penuh celaan oleh Herfian meski dia menerima minuman tersebut.

Herfian tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, terdengar bunyi khas tanda segel kaleng dibuka. Setelah mencicipinya sedikit, barulah Herfian berkata, "Bohong kalo aku bilang aku baik-baik aja."

"Solusinya udah di depan mata, Kak. Kakak bisa pulang sekarang kalo Kakak mau."

"Dengan mengorbankan Felix? Dia masih terlalu kecil, Jim. Aku masih bingung harus bagaimana."

"Iya juga. Kalo aku jadi Kakak, aku juga pasti pusing," kata Jim, berusaha menghibur tetapi nadanya terkesan meledek sehingga Herfian lagi-lagi melempar tatapan celaan padanya. "Bayangin aja, teman seperjuangan Kakak dari kecil kedapatan musibah trus mempercayakan anak bungsunya ke Kakak. Lalu, Kakak disalahpahami oleh istri Kakak sendiri dan berakhir putus komunikasi meski belum cerai secara resmi. Kalo Kakak pulang dan jelasin semuanya ke Kak Nirina, Kakak harus mengorbankan Felix. Sebaliknya, kalo Kakak pertahankan Felix, itu berarti Kakak harus rela disalahpahami oleh istri Kakak, kan?"

Herfian mengangguk perlahan, menyesap air sodanya dengan gerakan yang sama, seakan berharap perasaannya akan lebih baik jika dia meminumnya dengan cara seperti itu. "Dalam hal ini, aku harus melindungi Felix. Kamu sepupu terdekat aku, jadi kamu pasti tau gimana karakter kakek kita."

"Itulah risikonya jadi keluarga konglomerat, ketika segala gerak-gerik kita diawasi sebelum terjadi rumor yang tidak mengenakkan," respons Jim setelah menenggak habis air sodanya, disusul oleh Herfian. "Tapi setidaknya, pernikahan Kakak bukan karena dijodohkan seperti dunia drama. Kakak murni menikah dengan wanita pilihan Kakak sendiri."

"Memang," jawab Herfian dengan tatapan kosong lagi ke satu titik di hadapannya. Dari luar, pria itu terlihat seperti sedang memandang gedung pencakar langit dengan tatapan penuh minat. "Memang. Itu karena Kakak beruntung terlahir sebagai anak bungsu. Kalo Kakak pewaris tunggal, mungkin ceritanya akan berbeda."

Kata-kata terakhirnya sarat akan kepasrahan yang terlalu mengental hingga Jim menatapnya dengan simpati. "Gimana kalo Kakak jelasin ke Kakek yang sebenarnya? Tentang niatan Kakak yang membantu Kak Yenni? Walau Kakek sekeras itu, mungkin beliau akan paham."

"Sesuai karakter kakekmu, Kakak yakin beliau pasti akan menikahkan Kakak sama Kak Yenni. Malah sebenarnya dari dulu Kakak hampir dijodohkan sama dia. Bisa kamu bayangkan kan kalo aku bilang Felix itu anak dia? Apalagi dengan fakta kalo suaminya sudah meninggal. Itulah sebabnya aku nggak bisa mengakui kebenaran ini, tapi di satu sisi aku nggak bisa jelasin ke istri Kakak sendiri."

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang