14). Familiar

81 31 50
                                    

"Fel, lo dengerin gue nggak, sih?" tanya Vesya, menatap sobatnya dengan tatapan jengah sementara yang ditatap membalas dengan jutek. "Ishhh, malah galakin gue lagi! Lagi PMS, nih?"

"Tau, ah! Mood gue masih jelek banget! Kesel deh pokoknya!" omel Felina yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon kampus. Dari sini dia bisa melihat pemandangan di bawahnya. Ya... mungkin saja dengan menyegarkan matanya seperti itu, mood-nya bisa lebih baik.

"Ck. Masih kesel sama Vino? Udah lebih dari seminggu loh, Fel. Nggak kelamaan nih diem-dieman sama paman sendiri?"

Felina menopang dagu dengan sebelah tangan yang sikunya masih menempel pada pagar balkon. "Nggak diem-dieman juga, sih. Tiap Vino manggil gue atau ajak ngobrol, gue nggak cuekin kok. Cuma--"

"Cuma jawab seperlunya, kan? Vino pasti sedih, deh. Sebagai paman lo, dia cuma ngasih pendapat. Harusnya lo nggak langsung nge-judge dia kayak gitu. Lagian lo udah janji bakal ngelakuin apa aja, eh... ternyata lo malah nggak tepatin, kan curang namanya."

"Dasar temen nggak ada akhlak ya, lo! Bukannya ngedukung gue malah ngedukung Vino! Lo dibayarin berapa sih sama dia?"

"Ck. Kenapa sih lo selalu berpikir jelek dan menggunakan alasan duit sebagai senjata semua orang buat mengkhianati lo? Lo juga nuduh Vino dibayarin sama Om Herfian, kan? Tindakan lo gini tega banget, tau nggak?" protes Vesya tidak terima. "Kalo gue nggak inget lo temen masa kecil gue, lo udah gue lempar dari balkon sejak tadi!"

"Harusnya Vino tuh tau perasaan gue kayak gimana! Menurut lo apa ada kemungkinan gue mau ketemu sama pria yang udah mengabaikan keluarganya selama delapan tahun? Bahkan di saat semua udah berjalan dengan semestinya, ketika gue dan mama gue udah berusaha bangkit kembali dari kesedihan kami, kenapa gue harus ketemu lagi sama dia? Poin pentingnya adalah, Vino seharusnya nggak nyaranin ini ketika dia udah tau apa jawaban gue!"

"Ya namanya usaha, kan? Ibarat novel, lo nggak bisa langsung tau ending-nya kalo hanya bermodalkan sampul sama blurb-nya kecuali lo baca sampai selesai. Bahkan meski alur ceritanya klise dan lo tau akhirnya seperti apa," tutur Vesya setelah menghela napas panjang. "Gue yakin Vino pasti udah mikir-mikir dulu sebelum mengutarakannya ke elo. Dan ketika dia udah punya keberanian ngungkapin ke lo, itu tandanya dia udah ngerti apa konsekuensinya. Ya siapa tau kan kalo sebenernya yang terjadi sama kalian di masa lalu itu memang ada salah paham?"

"Salah paham gimana lagi, Sya? Kenapa sih kalian semua malah belain pria itu? Dia yang nyakitin dan ninggalin kami! Salah paham apa lagi yang harus diluruskan sama dia?" hardik Felina, menegakkan tubuhnya kembali ketika pemandangan di bawahnya sudah tidak menarik lagi. Tatapannya kini beralih ke Vesya.

"Om Herfian nggak pernah ngomong apa-apa sejak kejadian itu, kan? Ya kalo menurut gue, gue setuju sama Vino. Seenggaknya kasih Om Herfian kesempatan untuk jelasin semuanya. Kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kalo ternyata ini memang salah paham, setidaknya ini bisa jadi satu-satunya kesempatan sebelum semuanya terlambat."

Felina akhirnya memilih bungkam meski dia masih belum puas atas kemarahannya yang tidak terlampiaskan.

Awalnya Felina mengira Vesya akan membelanya, jadi dia bisa tetap meneruskan aksi juteknya pada Vino tanpa diimingi perasaan bersalah. Namun ketika dia mendengar pendapat sobatnya, mau tidak mau cewek itu merasa bebannya sedikit bertambah karena telah bersikap jutek pada paman kecilnya dalam durasi yang cukup lama.

Vesya mengulurkan sebelah lengan untuk merangkul sekeliling bahu Felina dan kemudian menarik cewek itu lebih dekat ke arahnya. "Udah ah, jangan jutek mulu. Kita tuh harus happy, Fel. Harusnya lo seneng, apalagi ini hari pertama kita jadi mahasiswi."

Rainbow Hearts [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang