Vino turun dari mobil, menutup pintu di belakangnya, dan bergerak cepat menuju Cindy. Dia bahkan mengabaikan seruan keras dari satpam karena mobilnya yang diparkir sembarangan. Cowok itu tidak peduli karena baginya, Cindy adalah prioritasnya sekarang.
Terkesan lebay, memang. Tetapi dalam hal ini, kasus Cindy menjadi 'spesial' karena gangguan mentalnya. Meski cewek itu sudah beberapa kali menjalani psikoterapi, sebagai wisudawan Psikologi, Vino tentu lebih aware dengan situasi semacam ini.
Jika sudah demikian, apakah Vino bisa tenang-tenang saja saat menghadapi semua ini?
Tentu tidak.
Lagi pula, Vino telah mengistimewakan Cindy sejak lama, bahkan di hari pertama mereka bertemu.
Ya, Vino sudah lama memendam perasaannya pada Cindy.
Awalnya Vino mengagumi kecantikan Cindy. Namun setelahnya, perasaan sukanya bertambah ketika tahu di balik gangguan mental yang cewek itu miliki, tersirat kasih sayang tak bersyarat pada Felix.
Seharusnya Vino cemburu, tetapi ternyata rasa cemburunya kalah oleh rasa kagum pada Cindy. Dia lebih senang melihat cewek itu berbahagia atas pilihannya sendiri.
Lantas berbicara tentang kebahagiaan, sama konteksnya dengan Cindy, Vino juga berbahagia dengan pilihannya sendiri; menyukai cewek itu dengan caranya sendiri.
"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Vino cemas pada Cindy, yang segera mengusap jejak air matanya.
"Baguslah, Kak Vino datang. Aku nitip Cindy ya, Kak. Aku harus nyusul Meilvie, dia mungkin lagi dibuli sama kakak kelasnya," kata Felix, yang merasa sangat lega atas kedatangan Vino. Lantas, dia mengalihkan atensinya pada Cindy. "Maafin aku ya, Cindy. Nanti kita bicara lagi."
Kemudian Felix berbalik arah dan mempercepat langkah tanpa menoleh lagi, sementara Cindy menatap punggungnya dengan tatapan nanar dan sarat akan luka yang kentara.
Vino mau menghiburnya tetapi kata-katanya tenggelam oleh perintah tegas salah satu satpam, "Pak, mobilnya tolong diparkir dengan benar supaya tidak menghalangi akses keluar masuk--"
"Oke, Pak." Vino memotong, segera masuk ke dalam mobil dan mengabaikan tatapan penuh celaan oleh si satpam karena perintahnya dipotong seenak jidat.
Biarlah disebut sebagai pria kurang ajar, Vino tidak peduli karena seperti yang telah diungkapkan kalau dia menganggap Cindy sepenting itu, tentu saja seluruh perhatian cowok itu hanya tertuju padanya.
Cindy tadi mengambil kesempatan untuk menghindari Vino dengan kembali ke mobilnya sendiri di area parkir mobil khusus antar-jemput murid, yang mana situasinya sudah jauh lebih lengang dari sebelumnya.
Vino lebih cekatan mengingat posisi mobilnya lebih strategis, sehingga dia bisa menyusul dan menghentikan mobilnya di depan mobil Cindy. Lebih tepatnya, dia sengaja menghadang di depan saat cewek itu baru saja menstarter mobilnya.
Cindy auto menatapnya jengah, tetapi segera membuang wajah ke sisi lain karena tidak ingin Vino melihat seberapa kacau ekspresinya sekarang.
"Cin, bukain pintunya," pinta Vino lembut dari luar. Meski Cindy tidak bisa mendengar jelas karena jendelanya yang ditutup rapat, dia bisa mengerti apa maksudnya. Lagi pula, Vino memperjelas keinginannya dengan mengetuk pintu mobil, tidak memberikan pilihan lain pada cewek itu.
"Cin, ikut gue, ya? Lo nggak boleh nyetir sendirian sekarang. Bahaya," kata Vino dengan cemas setelah Cindy menekan tombol untuk menurunkan kaca mobil. Hanya setengah bagian, supaya dia bisa mendengar apa maunya Vino.
"Nggak usah cemasin gue, Vin. Oke?" pinta Cindy balik dengan nada menutup pembicaraan, kemudian menaikkan kaca jendelanya kembali, tetapi dihalangi oleh tangan Vino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Teen Fiction[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...