Seorang pria berkepala empat melempar tas kerjanya asal, mengabaikan bunyi debam keras yang menyusul karena memantul ke lantai, kemudian mendudukkan dirinya di sofa. Pria itu menyandarkan kepalanya ke bagian atas sofa, bermaksud menenangkan pikiran dengan caranya sendiri. Seakan tidak cukup, dia mengangkat tangan dan memijat tulang hidung setelah sebelumnya melonggarkan dasinya dengan frustasi.
Setidaknya, ini sedikit banyak telah membantu karena pria itu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Layarnya menunjukkan sebuah foto. Foto tersebut diambilnya secara diam-diam satu jam yang lalu saat Felina berada di mal bersama Vino dan seorang temannya. Meskipun penampilan Felina tomboi, anak itu secantik Nirina sewaktu muda dulu. Tawa lepasnya bahkan sama persis karena sepaket dengan lesung pipi samar.
Herfian bersyukur dia mengabadikan foto Felina di saat yang tepat. Pria itu bahkan mendapatkan beberapa foto lain sebagai bonus, membuatnya bersyukur atas penemuan teknologi super canggih karena bisa membantunya mengobati rasa rindu pada anak semata wayangnya.
Herfian tidak sadar ada seseorang yang ikut melihat foto itu dari balik bahunya.
"Itu siapa, Om?" tanya suara berat khas cowok.
"Oh, kamu. Hmm... bukan siapa-siapa," jawab Herfian, seketika kaget dan berusaha menyembunyikan ponselnya, tetapi gerakannya kalah cepat. Cowok itu berhasil merebut dan memutar tubuhnya supaya bisa menghalangi Herfian mengambil kembali ponselnya.
"Jerico! Kamu nakal banget, sih! Sini, kemarikan hp Om!" perintah Herfian kesal, tetapi sia-sia saja karena Jerico masih sibuk memperhatikan foto-foto tersebut dengan saksama.
Jerico tertawa. "Pelit banget sih, Om! Aku cuma penasaran aja, sebenarnya yang Om lihat tuh yang mana sih? Ada tiga orang di sini. Yang satu cowok, trus satunya lagi cewek berambut pendek, satunya lagi cewek juga sih--hmm nggak jelas wajahnya, tapi rambutnya panjang."
"Yang rambut pendek," jawab Herfian akhirnya sambil berdeham keras seakan berusaha menutupi suasana hatinya.
"Oh... yang lagi ketawa, ya? Hmm... cakep juga sih, tapi sayang tomboi banget. Aku nggak suka sama cewek tomboi," komentar Jerico sambil menyerahkan kembali ponsel tersebut pada Herfian yang sekarang menatapnya dengan tatapan mencela.
"Siapa yang minta pendapatmu?" tanya Herfian sinis, lalu menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku.
"Siapa dia, Om?" tanya Jerico, kelihatan tidak tertarik tetapi nada bicaranya kepo. Dia lantas bergerak ke sofa dan duduk di sebelah Herfian.
"Memangnya kenapa? Bukannya kamu nggak tertarik sama cewek tomboi?" sindir Herfian yang tampaknya masih tidak terima kalau anak kesayangannya dikatain tomboi.
"Soalnya kayaknya dia orang yang penting dalam hidup Om. Tadi aku liat ekspresi wajah Om kayak sedih banget. Frustasi juga."
"Dia... anak Om," jawab Herfian akhirnya setelah menghela napas panjang dan memberi jeda selama beberapa saat. "Tapi dia benci sama Om."
"Loh, kenapa?" Jerico refleks meninggikan suaranya, seketika gagal paham.
"Dulu Om pernah buat salah dan dia belum maafin Om," jelas Herfian sambil membuang napas panjang lagi dan terkesan berat.
"Setiap orang punya salah, kan?" tanya Jerico dan mau tidak mau dia merasa sedikit kesal pada cewek tomboi itu. Gimana ya... menurutnya, tidak benar aja kalau membenci ayah kandungnya sendiri, separah apa pun kesalahannya.
"Ini kesalahan Om," jelas Herfian pelan, menyerupai bisikan. Untung saja Jerico sudah duduk di sampingnya sehingga dia masih bisa mendengarnya dengan baik. "Om pantas diperlakukan lebih parah dari ini. Om sadar dengan kesalahan Om sendiri. Seharusnya Om menyelesaikannya dari dulu, bukannya malah menghindar dari masalah. Seperti... pengecut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Hearts [END]
Novela Juvenil[Karya ini pernah diterbitkan pada tahun 2016. Usai memutuskan kontrak karena sesuatu hal, karya ini jadi bebas dipublikasikan dan saya me-remake kembali dengan tulisan yang lebih up to date] Please vote if you enjoy 🌟 Genre : Teenfiction + Young A...