2. BONEKA SANTET

789 132 313
                                    

-Happy Reading-

Langkah kaki Dito kian melamban saat jaraknya semakin dekat dengan gerbang putih yang menjulang. Motor kesayangannya sengaja ia parkiran di perkarangan rumah tetangga, walaupun harus membayar lapak sebesar lima ribu rupiah, tapi tetap saja uang sakunya terkuras sia-sia.

Dito menyipitkan mata, di halaman rumah Neneknya tengah terduduk di kursi seraya menyeruput teh manis dan potongan kue bolu. Dito berkacak pinggang, ia berjongkok di dekat gerbang yang tertutup, mengambil handphone dari dalam tas.

Pertanda siaga satu di mulai. Dito memencet nomor Mama yang tertera di layar handphone, tak butuh waktu lama panggilan darinya langsung terangkat. Sapaan akrab terdengar, seulas senyuman tipis menghiasi wajah tampannya.

"Emak," sapa Dito berbisik agar suaranya tidak terdengar oleh wanita tua yang duduk di halaman rumah.

"Kenapa, Kak?"

"Lisa mana?" Dito balik bertanya. Badannya terasa gerah, sehabis pulang kuliah ia langsung bermain di rumah Ganda, bahkan perutnya juga terasa lapar.

"Lagi belajar hitung. Kenapa, sih?" tanya Mama penasaran.

"Suruh ke dekat gerbang, kalau Nenek tanya mau ke mana bilang aja mau cari jangkrik buat diajak main badminton," titah Dito menekankan setiap kalimat yang diucapkannya.

"Sebentar, kamu tunggu aja dulu."

Panggilan terputus. Dito menyembulkan kepala, memperhatikan Neneknya yang sedang mengguncangkan kaki ke atas dan ke bawah bergantian. Coba jika Neneknya seperti Opah si kembar plontos, ia tidak perlu serepot ini setiap harinya.

Dari kejauhan anak perempuan kisaran 6 tahun berlari keluar rumah dengan wajah cerianya. Beruntung Nenek tidak sempat mewawancarainya. Anak perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling tanpa membuka gerbang lebih dulu.

"Ssst... cewek," desis Dito memanggil Adik satu-satunya.

Akhirnya anak perempuan itu menoleh, ia tersenyum lebar memperlihatkan beberapa deretan gigi atasnya yang ompong, tapi sangat menggemaskan. Anak perempuan itu melambaikan tangan, lalu mendorong gerbang putih sekuat tenaga.

"Cowok ngapain di situ?" tanyanya sambil menggaruk kepala.

Telunjuk Dito terangkat dan mendarat di bibir. "Lisa, jongkok dulu dong, nggak sopan, masa tinggian kamu daripada Kakak." cibirnya tidak terima.

Lisa mengangguk kecil, ia berjongkok menyetarakan tingginya dengan Dito. Anak itu menyatukan jari-jemarinya, menatap Kakaknya dengan air muka kebingungan. Dito mendudukan bokongnya di rerumputan, berjongkok terlalu lama membuat kakinya pegal.

"Kamu lagi ngapain tadi?" tanya Dito menginterogasi.

"Belajar hitung. Lisa udah bisa lho, Kak." jawab Lisa kegirangan, ia bersiap untuk bertepuk tangan, tapi Kakaknya langsung mencegah dengan menoyor keningnya.

"Nah, sekarang waktunya Lisa ajak main Nenek," ucap Dito.

"Main apa?"

"Petak umpet, bekel, atau main barbie? Terserah Lisa deh." Dito mengangkat kedua bahunya bersamaan.

Sontak Lisa menggelengkan kepala. "Kata Papa nggak boleh main petak umpet malem-malem, nanti diculik Wewe gombel!" ujarnya kalem.

"Nggak akan, Sa. Nenek itu sahabatnya si Wewe, jadi kamu nggak akan diculik." balas Dito meyakinkan, tetapi sayangnya Lisa tetap keras kepala.

Hembusan nafas kasar terdengar. Dito memijat pangkal hidungnya. Rasa gemas ingin mendorong Lisa ke rawa-rawa kian menjadi-jadi.

"Tapi Lisa nggak mau," Lisa menolak mentah-mentah, ia melirik ke arah Neneknya sekilas. "Kalau Lisa ajak Nenek berenang, boleh?" tanyanya penuh harap.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang