49. PERKARA ATAP GEDUNG

308 53 21
                                    

✨-Happy Reading-✨

"Sereal-nya mau susu putih atau coklat?"

"Putih,"

"Roti bakarnya mau?"

"Mau!"

"Sandwich telur?"

"Mau!"

"Buahnya juga mau?"

"Mau!"

"KOK KAMU RAKUS BANGET, SIH, DIT?!" tanya Davina lantang, bahkan sendok yang dipegangnya pun terjatuh membentur meja berbahan kaca.

"YA, MAMA SALAH NAWARIN SEMUANYA!" sahut Dito menaikkan volume suaranya. Bukan bermaksud marah, ia cuma tak habis pikir.

Wanita paruh baya itu berdecak sebal, tidak terima jika dirinya disalahkan oleh anak sendiri. Davina menyodorkan mangkuk berisi sereal tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tawa yang ditahan sedari tadi akhirnya pecah juga. Dito mencubit gemas pipi Lisa, kanan dan kiri tidak ada yang terlewati sebagai pelampiasan sebab ia mana mungkin berani melakukan hal itu pada Mama kalau tak mau dicap sebagai anak durhaka.

"Ih, Kak Ito kayak Genderuwo suka makan banyak. Hihihi ...," ejek Lisa menyuapkan sesendok sereal ke dalam mulut kecilnya.

"Nggak ada ceritanya Genderuwo ganteng gini," sindir Dito menoyor kening Adiknya tanpa berperasaan. Cengiran lebar menghiasi wajah kala Mama memberikan tatapan tajamnya.

Lisa menggembungkan pipi, berkacak pinggang. "Ada! Abis operasi di luar negeri." balasnya.

Kakak-beradik itu saling beradu mulut. Lisa dengan sifat sok tahunya, sedangkan Dito tetep kekeuh pada pendirian, enggan mengalah sedikitpun. Kesal. Lisa mencubit lengan Dito kencang, bibirnya mencebik lucu mengulangi setiap kalimat yang keluar dari mulut Kakaknya itu dengan gaya yang dilebih-lebihkan. Davina tak berkutik, menggelengkan kepala keheranan sembari memperhatikan keributan kecil yang selalu terjadi padahal penyebabnya tidak jelas.

"Kenapa, sih, pagi-pagi udah ribut aja?" tanya Arta bingung. Sepasang kaki dibalut pantofel menimbulkan bunyi nyaring saat bertabrakan dengan keramik.

"Papa, itu Kak Ito mau makan semua, tapi dimarah Mama." jawab Lisa mengadukan kejadian beberapa menit lalu.

"Bukan gitu, sarapan sewajarnya aja kali, Pa." timpal Davina menyediakan potongan sandwich telur khusus untuk sang swami.

"Cih, cari pembelaan. Perasaan tadi konsepnya nggak gitu, ya, Ma." cibir Dito merotasi kan bola matanya. Dasar mantan ratu drama.

"Ssst ... diem anak lanang!" titah Davina mendekatkan telunjuk ke depan bibirnya sendiri, matanya pun menyipit memperingati.

Sudah terbiasa dengan pemandangan ini setiap kali sarapan ataupun makan malam. Arta tak pernah sekalipun merasa kesal, malah sebaliknya. Ada sebuah kehangatan di setiap momen yang berjalan, meskipun detik jarum jam bergerak semakin cepat, seolah-olah ingin segera mengakhiri kebahagian. Pria paruh baya itu menarik kursi kosong, mendudukkan bokongnya lalu mulai menyantap sandwich yang telah dihidangkan.

"PAGI NENEK!!" sapa Lisa dan Dito bersamaan. Suara anak berumur 6 tahun itu yang lebih mendominasi.

Sekar tersenyum tipis, mengelus puncak kepala Lisa teramat lembut. "Pagi," gumamnya.

"Mau sarapan pake apa, Bu?" tanya Davina memusatkan pandangan pada sang Ibu yang duduk berhadapan dengannya.

"Roti bakar sama teh hangat saja," Sekar melirik sekilas macam-macam makanan yang tersaji rapi di atas meja.

"Sebentar, biar Davina buat teh dulu." ujar Davina tersenyum lembut. Kaki jenjangnya melangkah mundur, menjauh dari ruang makan, dibawa menuju dapur yang jaraknya kurang dari 5 meter.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang