42. BAHAGIA TERUS, YA?

271 68 59
                                    

✨-Happy Reading-✨

Mereka bilang dalam mencintai seseorang tak harus menjunjung tinggi rasa ingin memiliki, melihatnya bersama dengan orang yang dicinta adalah suatu kebahagiaan kecil. Tapi, bukannya semesta mengizinkan untuk egois? Mempertahankan apa yang kita punya, meski harus mengorbankan yang lain. Perumpamaan sang surya dan rembulan, sama seperti halnya filosofi China ; Yin dan Yang. Keduanya saling berlawanan, tapi tidak akan pernah dipisahkan. Soleluna bertugas bergantian agar kehidupan terus berjalan, tapi tak akan ada kamusnya mereka bersatu.

Cinta bukan soal memuja seseorang dalam hati, menyerukan namanya tiap kala napas berhembus. Indah jika di dengar, terlalu cantik layaknya barang antik yang harus dijaga. Namun, kisahnya tak akan berjalan lurus tanpa sebuah goncangan, terkadang meninggalkan goresan luka yang tidak terbendung dan ingin dikasihi. Segala perbedaan yang ada bukan penentu serta menjadi penghalang, selagi ada keseriusan dan keyakinan yang sama antar dua belah pihak. Ya, cinta itu perasaan murni dua anak manusia yang berhak disatukan tanpa garis paksaan.

Lengkungan bibirnya tertarik ke atas, membuka setiap lembaran kertas lusuh yang bagian bawahnya habis dimakan rayap. Sayang, buku sebagus ini tidak dirawat dengan baik. Banyak yang ia pelajari dalam satu waktu, berbagai pertanyaan yang bersarang di benaknya perlahan terjawab dengan sendirinya. Kesabaran pasti membuahkan hasil, tinggal bagaimana cara berusaha serta tak mudah putus asa.

Dito melirik arloji hitamnya, mengedarkan pandangan sekadar melihat jam dinding untuk menyamakan. Buku kilasan syair itu ditutup, ia beranjak dari kursi, berjalan menyusuri setiap rak-rak berjejer rapi guna mengembalikannya ke tempat semula. Tangannya direntangkan ke samping lalu atas, terus bergantian sampai rasa pegal yang menderanya hilang. Terhitung 3 kali ia menginjakkan kaki ke perpustakaan fakultas ekonomi, awalnya ingin menumpang tidur, tetapi niat buruknya itu dibuang jauh-jauh kala netra se-kelam malam menangkap buku tebal yang menarik.

"To, udah?"

Tepukan keras pada punggungnya membuat si empu berjengit, tubuhnya berbalik arah, merenggut kesal mendapati pelaku hanya terkekeh kecil. "Baru aja. Kenapa, deh?" tanyanya heran.

"Gue bosen duduk di depan nungguin lo baca buku. Lagian tumben banget, kerasukan Jin apa?" Arka balik bertanya, mengguncangkan kedua bahu Dito bersamaan. Dalam scene serial drama ini termasuk adegan romantis atau uwu-able, tapi jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, entah mengapa mereka menjijikan dan amit-amit.

"Temennya rajin malah di su'udzonin." sungut Dito menghempaskan tangan Arka dari bahunya, bahaya kalau virus alay  tingkat kuadrat temannya itu menyebar luas.

"Bukan gitu anjing, tapi aneh aja." balas Arka mengetuk-ngetukan jari panjangnya pada meja bundar berbahan dasar kaca.

"Tolong, kalau sudah selesai silakan keluar, jangan berisik di perpustakaan!" seru wanita berambut segi—penjaga perpustakaan yang duduk manis di kursinya dengan tumpukan kertas berisi data siswa.

Sebelum terkena wejangan berkepanjangan, akhirnya kedua cowok itu melangkahkan tungkainya keluar dari perpustakaan. Mendorong pintu kaca bak tokoh Disney—Elsa. Disambut langsung dengan hawa panas, seakan-akan dapat membakar kulit. Sebuah fakta, aneh tapi nyata, rata-rata penjaga perpustakaan itu julit, sinis, dan sewot. Hanya berdasarkan pengalaman, mulai dari sekolah dasar bahkan sampai ke jenjang universitas, tidak ada bedanya. Sulit menjumpai penjaga perpustakaan yang ramah dan sering menebar senyum kepada para pengunjung.

"Cafe nggak?" tawar Arka, kini berjongkok memudahkan mengikat tali sepatunya yang terlepas.

"Skip, gue mau nyamperin Megi dulu," tolak Dito halus, meringis saat temannya itu memberikan tatapan penuh selidik.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang