✨-Happy Reading-✨
"Ini semua sesuai pesanan lo," ujar Erlan memberikan kantong plastik berwarna hitam pada cewek berambut ombre di hadapannya.
Sudut bibir Megi tertarik, ia mengintip dari celah kantong plastik yang agak terbuka. Beberapa kotak pulpen ini akan ia jual, hasil uangnya akan dikumpulkan untuk membantu Nenek Isah—penjual kerupuk udang yang tempo lalu ia temui di trotoar jalan raya. Idenya untuk menggalang dana langsung disetujui oleh Maudy dan seluruh teman-teman kelasnya, termasuk Kak Erlan sendiri.
Megi tak mau meminta mahasiswa-mahasiswi lain memberikan sebagian uang mereka dengan cuma-cuma, meskipun mereka sukarela, tetapi dengan berjualan pulpen merupakan pilihan yang tepat juga bermanfaat. Megi menurunkan kantong plastik tersebut, melirik Maudy yang berdiri di sebelahnya seraya bersidekap.
"Wah, ini kebanyakan, Kak." balas Megi menghitung kembali berapa jumlah kotak pulpen yang dibelikan oleh Kakak tingkatnya.
"Bukannya bagus kalau makin banyak? Jadi donasi yang mau kita kasih bisa lebih." jelas Erlan memperhatikan Adik tingkatnya itu secara bergantian.
Megi menganggukkan kepala mengerti. "Iya, Kak. Makasih banget, jadi ngerepotin gini." sahut Megi tak enak hati.
"Niat lo itu patut diacungi jempol, Gi." Erlan terkekeh geli, mendaratkan telapak tangannya di puncak kepala Megi. Tentunya hal itu mendapat perhatian penuh dari Maudy, ia berdeham keras lalu terbatuk-batuk sehingga Erlan langsung menjauhkan tangannya.
"Selagi bisa membantu sesama kenapa nggak?"
"Ya, udah, nanti gue sama anak-anak himpunan bantu dengan cara lain." tutur Erlan menghindari manik hitam tajam Maudy yang terus terarah padanya.
Sejujurnya Erlan tidak mengerti apa maksud dari tatapan Maudy. Terlihat jelas Adik tingkatnya itu tak menyukai keberadaannya di sini, padahal mereka baru beberapa kali bertemu, tapi tidak pernah berbicara secara langsung.
"Tuh, lagi-lagi gue ngerepotin lo, Kak." balas Megi memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Erlan menggelengkan kepala singkat, "Nggak, Gi, tenang aja. Kalau lo mau antar uangnya kabarin gue," ucapnya mengalihkan topik pembicaraan.
"Oke, Kak." Megi mengacungkan jari jempolnya ke udara.
Menyukai Kak Erlan memang tidak salah, cowok itu ramah, baik pada siapapun. Ditambah Kak Erlan seringkali membantunya kala dimasa genting. Selain tampan, sikapnya juga membuat orang lain merasa nyaman, pasti banyak cewek yang menyukai Kakak tingkatnya itu, harapan serta kesempatan untuk Megi semakin menipis.
"Gue ke kelas dulu, ya. Bye!" pamit Erlan sembari melambaikan tangannya, hanya Megi yang membalas dan terus menatap punggung tegap berbalut jaket levis itu kian menjauh.
Maudy menyenggol lengan Megi, menyandarkan temannya dari lamunan. "Ngapain lo cengar-cengir?" tanya Maudy bergidik ngeri, pasalnya Megi seperti orang tidak waras.
"Kak Erlan baik banget," Megi mengulum senyum, memeluk plastik hitam berisi beberapa kotak pulpen begitu erat. "Gimana gue nggak falling in love sama dia, boyfriend able parah." ujar Megi mengigit bibir bawahnya.
"Iya, tapi gue tetap berpihak ke Dito-Megi garis keras." balas Maudy tak acuh, sampai titik darah penghabisan ia akan selalu berada di pihak Dito—cowok berkulit tan dengan segala tingkah uniknya.
Megi memutar bola matanya jengah. "Dih, gue nggak suka sama cowok pecicilan," cibirnya. Dari sekian juta cowok di bumi, mengapa harus seorang Dito Lavian yang selalu berurusan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]
Fiksi Remaja[Follow emak dulu, baru lanjut baca] _________________________________________ "Megiska cantik, kali ini gue nggak bohong, lo emang cantik kalau dilihat dari ruas-ruas jari." "Nggak usah muji kalau dihempasin lagi," "Kalau terima jadi pacar gue, l...