59. PERTAHANAN EGO

192 49 13
                                    

✨-Happy Reading-✨

Kursi kayu panjang diduduki secara berhadapan, selagi menunggu pesanan2 mangkuk bakso urat gerobakan di pinggiran jalan. Hari ini terakhir mereka mengikuti ulangan akhir semester, tentu ada perasaan tak tenang menunggu nilai keluar. Ketakutan terbesar jika sampai harus mengulang semester, terlebih ada beberapa dosen yang tidak meniadakan remedial. Sehingga nilai yang diterima murni, membayangkan mendapatkan IPK rendah adalah salah satu mimpi terburuk di mata mahasiswa.

"Ar, hari ini Dito nggak dateng lagi?" tanya Ganda memulai membuka topik.

"Nggak. Udah 2 hari nggak ada keterangan, kayaknya dia bakal ikut susulan." jawab Arka acuh, teramat serius memperhatikan kelincahan si penjual bakso dalam meracik bumbunya.

Agak kaget mendengarnya. Bisa-bisanya Dito abai menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa, padahal alasannya juga tak jelas. "Gila. Dia kenapa, sih?" tanya Ganda kelewat geram.

"Masalahnya sama Megi. Lo tau sendiri, sekeras apa pun kita ngasih tau dia, nggak akan mau peduli." Arka menghembuskan napas gusar, mengambil sendok serta garpu kala sang penjual sudah menaruh mangkuk bakso ke meja yang kedua cowok itu tempati.

"Gue kesel, tapi mau bagaimanapun posisinya dia tetep teman kita," cibir Ganda memalingkan muka seraya menuangkan kecap dan beberapa sendok sambal ke dalam mangkuk.

"Jangan sampai Dito harus ngulang semester," keluh Arka mengasihani.

Kesalahan fatal ini memang bermula dari Dito, cowok itu sendiri yang membuat perkara, tetapi Arka dan Ganda ikut ketar-ketir memikirkan nasib teman dari masa puber. Hanya satu ketakutan terbesar yang akan dihadapi, rasa penyesalan itu akan terulang lagi dimasa berbeda, yang membuat Dito terus terbelenggu, enggan keluar dari lingkar garis bayang-bayang kesalahan.

"Semoga masih ada kesempatan pengajuan susulan." ujar Ganda disambut baik oleh Arka dengan mengaminkan.

Semangkuk bakso dinikmati dalam suasana ramai akan lalu-lalang kendaraan bermotor, meskipun agak kesal dengan geberan knalpot modifikasi yang bunyinya memekakkan telinga. Terlalu bosan mengisi perut dengan makanan-makanan kantin atau cafe yang sering didatangi. Lagipula mengirit sekaligus menabung. Kemungkinan di semester 3 atau 4 diperbanyak praktek yang tentunya mengeluarkan uang yang tidak bisa dikatakan sedikit jumlahnya.

Drrt.

Getaran kecil itu mampu membuat meja ikut bergetar. Arka mengalihkan manik serupa rusa miliknya. Layar handphonenya menyala, menampilkan sebuah nama yang tertera di bagian atas.

"Siapa?" tanya Ganda berbisik, menusuk bakso yang telah dipotong kecil-kecil lalu mengarahkan ke dalam mulutnya yang terbuka.

"Tante Davina,"

"Angkat buru." Ganda memberikan perintah. Siapa tau Tante Davina ingin menginformasikan keadaan anaknya sehingga tidak bisa datang ke kampus dan mengikuti UAS.

Ikon berwarna hijau digeser ke samping, tak lupa Arka juga mengaktifkan loud speaker supaya Ganda bisa mendengarnya, jadi ia tidak perlu membuang waktu demi menjelaskan secara ulang. Handphonenya masih dibiarkan tergeletak di meja kayu berlapis spanduk kopi.

"Assalamualaikum, halo, Tan?" sapa Arka begitu sopan, menumpukan sikunya pada ujung meja.

"Waalaikumussalam, Arka." balas Davina dari seberang sana. Suaranya kurang jelas, terdengar derap kaki berlarian yang saling bersahutan.

"Tumben nelepon, ada yang bisa dibantu, Tan?" tanya Arka to the point, menenggak sebotol air putih yang dibelinya tadi.

"Kamu lagi bareng Dito nggak? Daritadi Tante hubungin, tapi nomornya nggak aktif juga." terang Davina, tersirat nada khawatir yang menggebu-gebu. Kedua cowok itu beradu pandang, seharian ini Arka dan Ganda belum menghubungi Dito, pesan yang dikirimkan melalui aplikasi chatting sejak pagi pun sama sekali tidak mendapatkan balasan.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang