30. DARE BERAKHIR!

271 57 75
                                    

✨-Happy Reading-✨

Degup jantung Dito memang tidak bisa diajak kompromi, perasaannya benar-benar cemas, keringat dingin membasahi beberapa bagian tubuh, termasuk telapak tangan dan keningnya. Dito menggigit bibir bawah yang sudah mengeluarkan darah segar, berusaha menghilangkan kecemasan berlebih yang menjalar, sesekali melirik pintu masuk taman fakultas administrasi yang ukurannya tidak begitu besar dibandingkan taman di fakultas lainnya.

Keputusannya sudah bulat dan sangat tepat, ia tidak mau menarik Megi ke dalam lingkaran permainan setan lebih jauh lagi. Sudah cukup Megi tersiksa juga tertekan akan keegoisannya, cewek itu perlu kebebasan. Sebentar lagi Dito akan mengakhiri semuanya, setidaknya mengucapkan terima kasih agar pertemanan dengan Megi tetap terjalin aman tanpa rasa canggung sedikitpun.

Hanya dengan mendengar derap kaki mendekat, Dito refleks menolehkan kepala ke samping. Cowok yang memakai topi putih Adidas itu berdiri dari duduknya, meremas tali ranselnya kuat-kuat. Susah payah Dito berusaha lebih rileks, tapi usahanya gagal. Entah, ia merasa sedang menunggu giliran untuk bertemu dengan malaikat maut, menggunakan jubah serta pakaian serba hitam ditemani tongkat panjang dengan ujung tombak melengkung tajam. Visualisasinya terdengar mengerikan dan tentunya tidak asing.

"Hai, Gi." sapa Dito sok kalem kala cewek berambut ombre dengan balutan baju panjang hitam berbahan katun.

"Hai juga," Megi menukas, merubah raut wajah cerianya kembali ke semula ; datar dan sinis. "Ada apa? Gue nggak bisa lama-lama, ada janji." tanya Megi tanpa berbasa-basi, mendudukkan bokongnya di kursi panjang.

"Kasih gue waktu buat napas dulu," pinta Dito memelas, ikut mendudukkan bokongnya di kursi yang posisinya berhadapan dengan Megi.

"Berarti daritadi lo nggak napas? Kok nggak mati, sih?" tanya Megi asal, sengaja memancing keributan kecil yang selalu mewarnai harinya. Perasaannya mengatakan jika beberapa hari belakangan ini Dito tampak berbeda, diam lebih tepatnya.

"Dih, lo doain gue mati?!" sarkas Dito, bola matanya itu melebar sempurna.

Megi tergelak, mengigit ujung plastik susu coklat sachet kesukaannya. "Ya, kalau bisa secepatnya aja," jawab Megi lugas, menatap remeh sang lawan bicara.

"Dosa gue yang numpuk kayak sampah plastik, lo yang tanggung, Gi." ucap Dito final dan tak terbantahkan, menaik-turunkan alisnya menggoda sehingga Megi menggeram kesal.

"Nanti gue rongsok semua dosa lo, lumayan dapat piring sama gelas." balas Megi tak mau kalah sebab sampai kapanpun berdebat dengan Dito tidak ada ujungnya.

Selama beberapa menit Dito memilih mengabaikan perkataan Megi. Kepalanya mendongak ke atas, matanya menyipit kala netra hitamnya bertubrukan dengan kilasan cahaya matahari. Awan-awan putih berarak tak tentu arah, burung-burung kecil berkicau merdu memutari langit. Dito menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sejujurnya ada yang aneh pada dirinya sendiri, entah mengapa ia merasa berat untuk mengakhiri walaupun sudah menyusun puluhan kata disertai maaf.

"Nah, gue udah siap mau ngomong." ujar Dito kelewat semangat, menginterupsi suasana hening.

Alis tebal Megi tertaut, terlalu serius hingga tak peduli pada terpaan angin kencang sehingga surainya itu berantakan. "Apa? Lo cuma punya waktu 10 menit," peringat Megi sambil mengangkat kaki kanan, menopang di kaki kiri. Tampak feminim.

"Iya lampir, bawel banget lo lama-lama, gue lakban juga, nih." ketus Dito memutar bola matanya jengah.

"Cuma kasih tau, lo kalau ngomong suka muter-muter ngga jelas!" Megi menyahuti dengan sewot, mengangkat dagunya tinggi-tinggi, bola matanya pun membesar.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang