50. TITIK TEMU

250 57 16
                                    

✨-Happy Reading-✨

Ruang minimalis yang hanya diterangi pantulan sinar mentari menghunus melewati celah-celah jendela horizontal. Entah mungkin matahari tengah balas dendam sebab kemarin malam hujan turun teramat deras, semenjak adzan pertanda Isya datang sampai pukul 4 pagi. Tak heran jika hawa masih terasa dingin, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur empuk yang selalu sukarela menjadi tempat istirahat paling ternyaman.

"Ini namanya hewan apa, Lisa?" tanya Dito menunjuk gambaran hewan berwajah moncong, tabiatnya tinggal di gurun pasir.

Si punya nama berdeham keras, mengetuk-ngetukan jari di kening, berusaha berpikir guna mengetahui nama dari hewan yang berada di majalah. Posisinya tengkurap, sehingga kedua kakinya yang terangkat terayun-ayun bergantian. 

"Kedelai!" tebak Lisa penuh kemenangan, sepasang matanya ikut berbinar-binar.

Dito mendelik, mengetuk pelan kening Lisa menggunakan pensil. "Salah! Yang bener itu keledai," kata Dito memperbaiki jawaban.

"Kalau nyengir giginya gede-gede, kayak Om Tera tau, Kak." sahut Lisa tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Berupaya mengikuti ciri khas Om yang tercetus dari celah bibir mungilnya.

"Sst ... Hati-hati aja, kalau Om Tera denger lebaran nggak dikasih thr lho," bisik Dito menakut-nakuti. Zaman sekarang siapa, sih, orang yang tak suka uang?

"Minta aja sama Papa, jadi orang miskin banget, sih." cibir Lisa merorasikan bola matanya jengah.

"Astaghfirullah, mantap suhu!" Dito menukas, memberikan acungan jempol seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sehabis terbentur dinding, perangai Lisa agak berubah. Terkesan songong bercampur cerewet dalam satu waktu, mudah memancing emosi orang yang mendengarkan. "Kita lanjutin belajarnya. Yang ini hewan apa?" tanya Dito pada hewan berkaki empat, hobi menggonggong serta sering memeletkan lidah seolah meledek.

"GUGUK!" pekik Lisa bertepuk tangan riuh.

"Bukan, itu anjing." balas Dito tanpa tindakan kekerasan yang pernah ia lakukan sebelumnya.

Kurva yang tercetak di bibirnya menurun drastis, Lisa mengerjap polos. "Ish, guguk Kak Ito. Kata Mama anak cantik nggak boleh ngomong kasar, nanti mulutnya bau jengkol." terangnya sambil menutup hidung lalu mengibaskan tangan di depan mulutnya yang sedikit terbuka.

"Emangnya Lisa cantik?" Lirikan mengintimidasi diberikan.

"Banget! Mirip Nurul Bojong Gede," jawab Lisa menaik-turunkan alis tebalnya bergantian.

"Heh, siapa, anjir?"

"Seleb, Kak. Dia Nurul yang suka bilang ngoghey!" ujar Lisa mengingatkan kembali. Padahal dulu ia terlalu sering mengikuti gaya bicara Nurul, tetapi ternyata Kakak kesayangannya itu telah lupa.

"Kebanyakan main toktak, baca aja masih suka komat-kamit kayak dukun gadungan." sindir Dito membolak-balikkan halaman buku, memperhatikan hewan-hewan langka dari seluruh provinsi Indonesia.

"Iri? Bilang babu!" ejek Lisa tergelak puas. Membuat sang Kakak jengkel adalah suatu momen favoritnya.

Merasa keadaan mulai mencekam dan tidak aman, buru-buru Lisa bangkit dari kasur. Beranjak turun dari ranjang yang lumayan tinggi teramat hati-hati daripada bokongnya menyentuh lantai. Hampir saja kaos bagian belakangnya ditarik kasar oleh Dito, kalau sampai kena, bisa-bisa perutnya geli karena digelitiki tanpa ampun, kemudian berujung menangis tersedu-sedu. Kasus seperti ini boleh dilaporkan? Anggap saja perlindungan anak di bawah umur dari kekejaman Kakaknya.

"Gue cubit pankreas lo, ya, Lisa! Awas aja, gue tandain." ancam Dito memincingkan mata, menatap lurus Adiknya yang berdiri tegap bersandar pada sudut ruangan kamarnya.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang