58. SO, WANT HOW?

219 45 15
                                    

✨-Happy Reading-✨

Ojek online yang ditumpangi Maudy terhenti di parkiran fakultas. Helm dengan ciri khas berwarna hijau itu dilepas sembari memberikan beberapa lembar sesuai nominal yang tertera di aplikasi. Maudy tersenyum ramah, mengucapkan banyak terima kasih pada si driver baik hati yang telah rela mengendarakan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata agar ia tidak telat serta mengantarkannya sampai tempat tujuan dalam kondisi selamat.

Tungkainya melangkah di koridor, sesekali menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Kemungkinan orang-orang akan berpendapat jika Maudy adalah cewek manis nan pendiam. Seringai tipis muncul kala netranya tak sengaja melihat Megi yang berjalan santai di depannya, tercipta jarak 3 meter diantara mereka. Langkahnya dipercepat, tak peduli sampai menubruk punggung seseorang yang tidak dikenal tanpa untaian kata maaf sekalipun.

"Gi, lo ... ribut sama Dito?" tanya Maudy penasaran, berusaha mensejajarkan langkah kakinya.

Beruntung Megi tidak punya riwayat penyakit jantung. Kemunculan Maudy terbilang tiba-tiba lalu langsung menyerbunya dengan pertanyaan.

"Lo tau?" Megi bertanya balik, mengerutkan dahi.

Kekehan kecil menggema, Maudy menatap Megi dengan sorot bersalah. "S-sorry, waktu gue lewatin taman, nggak sengaja denger." jawabnya. Sungguh, Maudy tak ada niat menguping pembicaraan apalagi menjadi mata-mata. Letak taman itu cukup strategis, jalan satu-satunya lebih dekat ke parkiran. Rasa penasarannya kian menggebu saat mendapati temannya itu berbicara dengan volume suara yang tidak bisa dikatakan pelan. "Kali ini masalahnya?"

"Dia yang selama ini selalu ada, tapi anggap gue orang lain. Gimana menurut lo? Sakit, 'kan?" tanya Megi berapi-api. Emosinya masih belum stabil. Kemarin, selepas pulang dari sini, ia menghabiskan hampir setengah hari di dalam kamar. Sekedar merenung kemudian menangis lagi.

"Speechless. Gue bener-bener nggak tau harus nanggepin apa, menurut gue kelewatan banget," Maudy menukas, berdeham guna mencari-cari pertanyaan lain demi menuntaskan jiwa haus rasa penasaran. "Terus sekarang kalian?" tanya Maudy sambil mengangkat kedua tangannya, membentuk tanda kutip.

"Break." balas Megi lesu.

Keduanya masih tetap melangkah, mengabaikan sorak-sorai berisik dari sekitar. Lagipula topik pembicaraan kali ini lebih penting. Maudy tau betul Megi sulit diajak bercerita, memilih memendam sendirian daripada merepotkan orang lain, padahal notabenenya adalah teman. Jadi mau tak mau harus memancingnya dahulu, sampai Megi akhirnya mau terbuka. Berbagi beban, menjadikan Maudy sebagai pendengar yang baik, meskipun hanya mendapat nasihat atau saran seadanya.

"Sampai kapan?"

"Sampai dia sadar kalau gue dan Dira itu dua orang yang berbeda, juga soal perasaannya itu. Gue nggak mau punya hubungan yang gue anggap serius, sedangkan dia nggak lebih dari menebus kesalahan dimasa lalu." ujar Megi mengulas senyum tipis. Dengan sengaja menekankan dua kata subjek yang mampu membuat Maudy ikut merasakan arti kekecewaan.

Maudy mengangguk-angguk, mendaratkan tangannya di bahu Megi, mengusapnya lembut. "Sabar, ya. Gue tau lo tipe yang menghadapi masalah secara dewasa. Semoga ada jalan keluarnya," sahut Maudy menenangkan serta menyemangati secara bersamaan.

"Thanks, Dy."

Satu per satu deretan anak tangga ditapaki. Jadwal UAS baru dimulai pukul 08.00 WIB, masih ada waktu 45 menit untuk mempersiapkannya. Ruang kelas yang berada di urutan kedua dari ujung dimasuki, masih terlalu sepi. Megi mendudukkan bokongnya di kursi depan bagian tengah, sedangkan Maudy menempati kursi belakang. Maudy cukup segan jika duduk di depan, apalagi dihadapi puluhan soal-soal UAS memusingkan, takut bertambah gugup.

SEGITIGA SEMBARANG [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang