Partner

24.9K 1.8K 162
                                    

Kira-kira pekerjaan apa yang hebat, tapi tak banyak mendapat perhatian orang?

Yang tiap harinya cukup menguras emosi, pikiran, serta keahlian padahal bukan sebuah pertunjukan?

"Risotto, croquet, salad for table 4!"

"Satu pesanan lagi! Table 8, dua salad and one risotto!"

"Apa yang kau lakukan?! Saladnya sudah layu, mau disajikan ke pelanggan?!
Buang! Ganti!"

"Risotto for table 4, kenapa lama sekali?!"

"Main course table 1! Dengar baik-baik!"

A chef.

Wen Junhui namanya.

Executive Chef.

35 tahun.

Berhasil menggapai posisi tinggi ini dengan menggeluti seni memasak sejak umur belasan.

Single.

Pernah beberapa kali menjalin hubungan, tapi tidak ada yang bertahan sampai setahun.

Ayolah, siapa yang suka dengan pria yang bekerja dari pukul 10 pagi hingga 2 dini hari?

Siapa yang hobi berkencan pagi dan lebih memilih menikmati sunrise dari pada sunset?

Tidak ada.

Tapi Jun lebih menyukai pekerjaan daripada seorang pendamping. Jadi ia tidak peduli.

Tidak juga takut jikalau nanti akan mati dalam keadaan sendiri, tanpa ada yang menangisi.

"Aku suka memerintah orang.
Tapi tidak suka diperintah."

Ungkap Jun pada si empunya hotel tempat ia bekerja, di suatu pertemuan luar pekerjaan.

Atau, anggaplah kumpul biasa sebagai teman satu kampus yang pernah bersama mengemban ilmu waktu di US dulu.

"Yah. Kau pernah jadi CDP, kau pernah diperintah. Jangan sombong mentang-mentang sekarang sudah jadi head chef."

"Kkk bukan begitu maksudnya, Gyu.
Chef de Partie itu kan bagian dari pekerjaan. Aku tidak pernah komplain waktu menjabat posisi itu, kau tau. Mau seberapa hectic suasana dapur, aku menyukainya. Baik memerintah atau diperintah.

Cuma disini.. kita bahas hubungan.
Posisi ku atas, apa aku berhak diperintah?"

"Wonwoo sering memerintahku. Dia menyuruhku setiap hari kadang untuk urusan anak, urusan rumah, apapun. It's more enjoyable than work. Believe me."

"Cih.
Apa yang menyenangkan dari melakukan sesuatu yang dipaksa?"

"Ah. Kau tidak mengerti.."

"Karena kewajiban? Sebagai suami, no. I mean, partner?
Jangan bilang aku inexperienced. Aku pernah berkencan sebelumnya."

"Tapi pengalamanmu buruk."

"....."

"Benar, kan?"

"Maybe.
Kau tau aku selalu menyingkirkan handphone saat di dapur. Itu, dan aku pun selesai. Putus karena masalah komunikasi.
Karena aku menolak perintahnya untuk selalu membawa handphone meskipun ke dapur."

"Well.. that's toxic. Aku maklum, alasan mu logis."

"Ada yang kedua."

"Apa?"

"Mantanku yang lain memintaku masak makan malam untuknya."

Mingyu, pria di hadapan Jun yang sedang merokok seketika mematung lantaran tidak tau bagaimana harus merespon.

Di pikirannya sekarang adalah Jun yang toxic. Bagaimana bisa ia, yang notabene seorang chef, menolak diperintah untuk memasak dan memilih putus?

Tidak ada alasan di kepala Mingyu untuk memaklumi cerita sahabatnya kali ini.

"Dude, astaga.."

"Kalau mau tau kelanjutannya, jujur, hari itu aku libur. Aku pun ke rumahnya, menjemputnya untuk makan malam di luar tapi dia malah..... kkkk."

"Ya.. bukankah bagus? Romantis, karena masakan kekasih tentu lebih enak. Kenapa kau malah-?"

"Gyu.
Tidakkah kau pikir bahwa saat itu berarti my ex tidak menghargai hari liburku?"

"Huh?"

"Cooking is my job.
Aku masak setiap hari, karena waktu itu aku masih CDP. Dan saat hari libur yang ku tunggu tiba, kenapa aku malah disuruh 'bekerja' kembali?
Not to mention that it was for free lol. Jk."

Nah, benar juga.

Mingyu kenal Wen Junhui sebagai orang yang workaholic, tapi memang di satu sisi ia pandai berpikir. Terutama untuk rencana jauh ke depan.

Mungkin bagi beberapa orang, mencari kekasih itu hanya sebagai hiburan. Tapi tidak untuk tuan Wen.

Ia lebih suka bahasa partner daripada kekasih. Karena kalau cocok, mungkin bisa mendampingi sampai mati. Bukan hanya sebutan untuk orang yang menemani.

Itulah kenapa standar Jun sangat tinggi. Banyak pertimbangan yang ia miliki untuk mencintai.

Sayang sekali kadang semakin kau berekspektasi, mengharapkan hal tak pasti, berniat untuk mengenalnya lebih,
Maka semakin mengecewakan pula realita yang menghampiri.

"Baiklah.. aku tidak punya kalimat debat lagi.
Aku hanya berharap yang terbaik untukmu."

"Ya. Aku tau kau khawatir dengan umurku."

"Betul."

"Ck. Sudah ku bilang, aku single sampai tua pun tidak masalah.."

"No, Jun.
Kau harus punya anak."

"Aku tidak punya sesuatu yang bisa diwariskan sepertimu, bodoh."

"Huh? Kau tidak mau membayangkan seorang anak kecil menggunakan chef jacket bantu mengaduk adonan secara amatir di sisi mu?"

"....."

"Semangat, kawan.
Masih banyak kesempatan untuk mencari seseorang yang bisa menerima mu di luar sana."

"Kau bicara 'kesempatan'nya yang banyak, populasinya sedikit.
Tidak ada manusia berusia 30an yang masih single sepertiku, bodoh."

"Kalau begitu cari yang 20an."

"Aku bukan pedofil."

"Astaga, Jun. Maksudnya-
Hhh.. sudahlah. Memang kecil kemungkinannya kalau mau cari yang sama persis sampai ke akar."

Jun paham maksud temannya. Tapi ia hanya mengedikkan bahu acuh.

Sedikit banyak membenarkan, meskipun dalam hati tetap berharap bahwa ia akan menemukan sosok yang sama sepertinya.
Baik segi umur, kepribadian, atau mungkin pekerjaan.

"Memang lebih baik mengencani diri sendiri sepertinya."

-tbc-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-tbc-

Note:
Am not a culinary expert or whatever.
Actually I did a little research before making this story.
So, if I have some mistakes about kitchen terms in this book, please kindly notify me.
Thank you.

✓Black and White [JunHao MxM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang