"Lagi?"
"Hm. Buatkan aku makanan lagi sebelum berangkat."
"Haohao, kita sudah sarapan.."
"Kalau tidak mau ya tidak usah.
Aku tidak memaksa."Memang permintaannya tak ada unsur tekanan di sana.
Namun grasak grusuk kakinya yang bangkit dari sofa kemudian pergi ke kamar dan membanting pintu keras, siapa yang tidak akan terkena tekanan batin kalau jadi Junhui?
Maka dengan hela nafas sabar, pemuda itu melepaskan sepatunya. Bergegas ke dapur guna menyiapkan kudapan sekaligus banyak untuk sang istri yang akan ditinggal bekerja seharian.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10. Minghao keluar karena aroma yang sangat menusuk dari dapur. Ingin bertanya, namun mulut yang terbuka malah memberikan reaksi tak terduga.
Ya, tentu hidung sensitifnya agak menyebalkan.
Tak bisa kompromi dengan kemauan perut, makanya kini berisik protes lewat mulut bersama suara muntahan yang terdengar jelas di penjuru ruangan.
"..Hao?"
"Matikan kompornya- umpphh!!"
"Yah, kau kenapa?!"
Tak ada jawaban, sebab namja manis itu harus menarik nafas dalam-dalam setelah menekan flush toilet dan berbalik menghadap wajah panik suami di pintu kamar mandi.
Ada dorongan untuk sedikit tertawa, tapi sekali lagi otaknya tak mau kompromi menerima perintah hati.
"Berhenti memasak.
Seisi rumah jadi bau, kau membuatku muntah.""Tapi tadi kamu minta-"
"Hhhh.. sayang, kenapa aku hari ini benci sekali berhadapan denganmu?"
"M-mworago?"
"AISH, PERGI KERJA SANA!"
"Ani, jadi kamu sayang atau benci sama aku?! Aku tidak mau pulang kerja harus tanda tangan surat cerai-"
"Cerai? Siapa yang mau cerai?"
"..aku berangkat."
"Dasar gila.
Aneh.""Yah. Aku dengar.
Mau kuberi kaca kamar-?""Mau ku cerai?"
"Saranghae."
--
Suara tawa masih terdengar dari sosok di hadapan Wonwoo. Hari sudah hampir malam namun keduanya belum menunjukkan akan segera berpisah karena yah, pertemuan ini terlampau menyenangkan.
Istri tuan Kim di sana sekali lagi meminta pelayan mengisi teh di meja. Tak membiarkan gelas mereka kosong dan lanjut bersilang kaki menjadi pendengar yang baik.
"Aku ingat dulu waktu awal aku pacaran, dia yang pertama kali ancam putus tanpa sebab. Tapi tadi pagi aku ancam cerai tanpa sebab dan melihat wajah takutnya-
Ahh paboya, aku menangis saking seringnya tertawa hari ini.""Wen Junhui.. dari anaknya masih di perut, sudah tak punya harga diri lagi."
"Kkkkk~ memang kurang ajar. Bayi ku terlalu dini membalaskan dendam mamanya."
"Tapi serius, dia tidak tau?"
"Um.
Aku belum memberi taunya.""Dia juga.. tidak curiga? Tidak tanya, atau apaa gitu?"
"Entahlah.
Padahal aku sudah dua kali menolak tidur bersamanya. Aku hampir tiap hari ketauan morning sick, dan emosiku.. wah. Aku tidak berubah. Aku sangat sensitif di awal-awal kehamilan, seperti dulu.""Ya.. memang begitu.
Ngomong-ngomong, selamat.
Aku senang kau mendapat 'ganti'nya."Senyum lembut Minghao perlahan merekah. Mengangguk kecil sekalian menurunkan pandangan ke bawah, ke perutnya sendiri.
Bukan 'ganti'.
Lebih tepatnya, ini adalah karunia tambahan. Balasan karena telah coba mengikhlaskan.
Dan Minghao terlalu pengecut untuk mengabarkan kebaikan Tuhan (lagi) pada suaminya.
Gatal memang, setiap kali mereka berdua. Setiap kali ada kesempatan. Setiap kali ada momentum untuk jujur. Hao ingin memanfaatkannya dengan baik.
Seperti sekarang. Kala Junhui pulang lebih cepat, pukul sebelas malam, hanya untuk memastikan seisi rumah tak ada surat dari pengadilan yang datang kemudian memeluk sang istri yang sedang tidur nyenyak.
"Hhhh aku terlalu parno sepertinya."
"Aish, berat.."
"Diam sebentar."
"Junie~"
"Kkkk maaf mengganggu tidurmu, sayang."
"Mandi sana."
"Aku lelah."
"Setidaknya ganti baju, astaga."
"Yah.
Beratmu naik?
Kenapa aku merasa tubuhmu agak beda?""Maksudmu aku gendutan?"
"Bukan- tapi iya, ya.. um.. sedikit. Apa karena sarapan dua kali pagi ini atau-"
"Hamil."
"N-ne?"
"Hamil gitu, menurutmu?"
"Um.."
"Aish, aku ngantuk.
Sudahlah, jangan peluk aku lagi.""Shireo."
Kali ini bukan hanya tangan yang melingkar, tapi kepala Jun turun ke bagian perut Minghao. Sejenak membuat namja manis itu terkejut dan bungkam seribu bahasa.
Memang perut yang katanya gendutan itu tidak dijadikan bantalan oleh Jun, tapi malah diajak bicara seraya diusap pelan dan dikecup dari balik baju.
"Cepatlah isi..
Aku tau kalian sedang berlomba disini.
Laki atau perempuan, papa tidak masalah siapapun yang menang.""Semangat!!"
"Mama papa sabar menunggu."
Tak ada yang tau bahwa Minghao tengah tersenyum kecil di sana. Tangannya menelisik lembut rambut sang suami. Mendengarkan apapun curhat si calon ayah yang sebenarnya tengah bicara dengan calon anaknnya sendiri sekarang.
Ah. Haruskah ia beri tau?
Tentang nyawa yang berusia 7 minggu?
Yang sebenarnya tinggal menghitung hari untuk ditunggu?
"Junie."
"Hm?"
"Kau sedang apa?"
"Um.. berdoa? Mungkin."
"Di depan lambungku?"
"Aish. Kau merusak suasana."
"Kkk~ cepat ganti baju.
Aku ngantuk.""Ah. Maaf sudah ganggu. Silahkan tidur lagi."
"Aku mau peluk kamu sambil tidur."
"Oh! Apa kau juga mau-?!"
"Peluk saja, Jun..
Kau tidak bisa melakukan itu pada orang yang sedang hamil.""Hhh baiklah."
"......"
"Sebentar.
Siapa yang sedang hamil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
✓Black and White [JunHao MxM]
FanfictionBukankah mereka sama, meskipun penampilannya berbeda? Warn! MxM Alternative Universe OOC Mpreg Disclaimer! Pictures and names are used to visualise only. They're not mine and credits belong to their original owners.