TEKAN ⭐ SEBELUM MEMBACA :)
Dhanu Brawijaya mengendap diantara pilar pilar bangunan markas. Dugaannya benar, markas Nippon di dekat stasiun Djogja ini telah jatuh ke tangan sekutu Inggris, sama seperti markas Batavia. Beberapa pria bermata sipit tak jarang terlihat tengah digiring dengan tangan terikat bagai hewan kurban.
Dhanu tak peduli, yang ia pikirkan sekarang hanyalah Kinanti. Pria itu sangat yakin bahwa adiknya ditempatkan disalah satu kamp tahanan. Kemarin, seharian Dhanu mencari Kinanti sesampainya di Sleman. Dhanu kembali kerumahnya, berharap Kinanti, Romo, dan sibu sedang menunggunya pulang dan berkumpul seperti sebelumnya.
Namun dugaan nya salah, sangat salah. Rumah itu kosong tak berpenghuni. Keadaanya juga masih sama rapih saat Dhanu meninggalkan rumah itu. Hanya saja debu dirumahnya sangat tebal. Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar. Tiba tiba, Dhanu teringat sesuatu. Perkataan Okada Hideo beberapa bulan silam tentang kematian kedua orangtuanya membuat Dhanu resah. Penuh derai air mata, dia mencoba memanggil manggil nama mendiang ibunya.
"Ibu!! Mas Dhanu pulang.."
"Ibu..."
"Parjiah..Parjiaaahh!!"
Tak ada jawaban, teriakan pria itu seakan mengaung begitu saja ditelan keheningan. Dhanu menoleh kesana kemari, berlari menuju ruang kebesaran Romo nya.
"Romo!! Kinanti!! Lihatlah aku sudah kembali!"
Dhanu membuka pintu ruangan yang tak terkunci itu. Dulu, jika ia masuk kesini pasti akan menjumpai romo dengan cerutu tebalnya. Ruangan yang identik dengan asap cerutu itu kini terlihat singup dan lembab. Air mata Dhanu mulai bercucuran. Hatinya makin teriris manakala netranya menangkap sepasang buku yasin bertuliskan nama kedua orangtuanya. Di dekatinya buku itu, dibukanya lembar demi lembar. Benar. Orangtuanya telah berpulang.
Dengan kalap dia berlari meninggalkan pelataran rumah itu, menuju rumah saudaranya yang tak jauh dari sana. Dhanu mengetuk pintu agak senewen. Bayang bayang kematian romo dan sibu memenuhi otaknya, menggelayuti batinnya bersama penuh tanya. Pintu kecoklatan berukir lambang Majapahit itu terbuka, menampilkan sosok yang tak asing.
"Dhanu! Dari mana saja!"
Pintu terbuka kian lebar, selebar kelopak mata pemilik rumah yang begitu terkejut atas kedatangan Dhanu yang tiba tiba. "Eyang kakung! Dimana Kinanti?"
Tanpa basa basi, Dhanu menanyakan tujuannya. Dia terlalu shock untuk sekedar berbasa basi. Netra pria paruh baya yang sedaritadi terkejut berubah mendingin. Penuh geram, bibirnya berucap.
"mbakyu mu wes rabi lan digawa lunga karo Nippon!" (adikmu sudah menikah dan dibawa pergi sama Nippon)
Mata Dhanu terpejam erat menyusun serpihan ingatan hari kemarin yang berjalan dengan buruk. Bukan hanya Eyang kakung yang membenci adik semata wayangnya, tapi juga saudara yang lain. Kinanti dianggap penghianat karena memilih menikah dengan petinggi tentara Jepang yang masih mereka anggap musuh. Bagi mereka, Kinanti sangatlah tak tahu diri. Kedua orangtuanya baru saja sedha, sedangkan dia asyik menggelar pernikahan dengan adat budaya Jepang yang jelas jelas mereka batasi.
Tak ada lagi sanak saudara yang menganggapnya keluarga. Bagi mereka, putri bungsu keluarga Brawijaya telah mati. Dhanu sama kecewanya dengan mereka, namun seburuk apapun Kinanti, gadis itu tetaplah adiknya, saudara kandung satu satunya. Dhanu mengesampingkan rasa marahnya, berusaha mencari Kinanti kesana kemari.
Dan disinilah ia sekarang, mengendap disalah satu pilar kokoh barak tahanan tentara Inggris. Firasatnya mengatakan Yamada Hiro dan keluarganya ditangkap dan ditempatkan disini. Markas ini sangat dekat dengan kediaman keluarga Nakamura. Mustahil mereka melarikan diri ke Jepang ditengah keadaan seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝 𝐖𝐚𝐫 𝐥𝐥
Historical FictionCERITA SEDANG HIATUS Indonesia, 1943 Berwajah datar, dengan hati sekeras baja adalah pesona Nakamura Yamada Hiro. Putra seorang petinggi Dai Nippon yang diutus memimpin pasukan ditanah bekas jajahan Belanda. Hidup keras bukan lagi hal asing baginya...