Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. Tidak juga percaya dengan yang namanya takdir, menurutku apa yang terjadi pada manusia adalah pilihan dari hidup mereka sendiri.
Hampir semua yang terjadi pada hidupku adalah pilihanku, namun malam itu... aku sudah bersiap untuk mati. James terlihat begitu cepat, aku sudah menyiapkan segalanya. Aku rasa itu adalah hari terakhirku. Aku memiliki bekas tusukan di pinggang, tiba-tiba rasa nyeri timbul disana.
Mataku terbuka, aku terengah-engah. Keringat mengalir begitu deras dari dahi. Ku lihat sekeliling, warna putih dan silver berpadu menjadi satu sangat familiar untukku. Fotoku terpanjang besar di dinding kamar, aku menutup mata. Hanya mimpi.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan di pintu menyadarkan ku kembali. "Ya masuk."
Kepala wanita berumur empat puluh tahun muncul dari balik pintu. "Aerith sudah datang, Ms. Bennet."
"Suruh dia masuk kamar ku, aku akan segera bersiap."
Yohanna mengangguk dan tersenyum sambil menutup pintu kamar bercat putih. Aku menarik napas dan memaksakan tubuhku untuk turun dari tempat tidur. Kaki ku berjalan ke arah walking closet untuk memilih baju dan bergegas untuk mandi air hangat di pancuran untuk menjernihkan pikiranku.
Aku keluar dari kamar mandi masih mengenakan kimono terkejut melihat Aerith, Lily dan Leonardo sudah ada di kamar ku. Mereka sudah siap di depan meja rias.
"Sial! Kalian seperti polisi yang siap menahanku." Ucapku sebal.
Aerith tersenyum. "Duduk! Lily akan membuat mu secantik mungkin." Ujarnya sambil menatap Lily dan dijawab dengan anggukan Lily.
"Kita hanya mau berterima kasih, lagi pula kejadian itu sudah lewat tiga hari." Kataku sambil berjalan ke arah kursi bludru putih di depan meja rias.
"Pejamkan matamu, Jane." Ujar Lily sambil mengoleskan sesuatu di wajahku sedangkan aku merasakan rambutku telah dijadikan mainan oleh Leonardo.
"Justru karena itu! Kau harus minta maaf karena telat untuk berterima kasih, katakan dengan jujur bahwa aku masih shock karena kejadian itu."
"Aku sudah berterima kasih padanya dan aku tidak shock."
"Belum dengan benar." Aerith mendengus kesal.
"Demi Tuhan, Aerith..." aku membuka mataku dan melotot ke arahnya, Lily menatap pasrah padaku.
"Jane, dia telah menyelamatkan nyawamu."
"Aku tidak minta itu." Jawabku dengan nada yang cukup tinggi.
"Jangan bilang kau sengaja..." ucap Aerith, aku melihat dia memicingkan matanya padaku.
"Lupakan." Jawabku lalu menutup mata kembali.
Ku dengar langkah kaki Aerith yang mendekati ku. "Jane, jangan harap kau bisa mati konyol!"
"Jangan harap kau bisa mengaturku."
"Jane..."
Aku menghela nafas panjang. "Aku belum memikirkan untuk 'mati konyol' sekarang, jadi cepat bereskan semua dandanan ku."
"Ba... baik..." ucap Leonardo dan Lily hampir bersamaan.
"Sebelum kau meminta maaf kau akan bertemu North." Ucap Aerith pelan.
"North?!!" Aku membuka mataku lagi karena sangking terkejutnya.
"Instagram telah membayarmu untuk melakukan ig tv live bersamanya, Jane." Ucap Leonardo terdengar seperti cicitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Life
RomanceMATURE CONTENT. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA [ 21+ ] Dia mendekat ke arahku, bagai dewa kematian yang siap menjemputku. Auranya dingin, menakutkan, dan begitu gelap. kata-kata itu sangat cocok untuk disematkan pada dirinya. Aku seperti pernah melihatny...