"Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada pria dengan rambut chestnut blonde.
"Dia baik, jauh lebih tenang daripada biasanya. Kau cukup hebat hari ini, Jane." ucapnya berjongkok di depanku.
"Bukan aku, Mark. Eric yang melakukannya." ucapku mengarahkan pada pria yang duduk disebelahku.
Mark melihat ke arah Eric, dia berdiri, jubah putih yang ia gunakan melambai saat dia berjalan maju. "Halo, Mr. Strife. Aku Mark, dokter pribadi Jane. Sebuah kehormatan bertemu dengan anda." dia mengulurkan tangan untuk di jabat.
Eric berdiri dan menerima jabat tangan itu. "Halo, Mark. Terimakasih." ucapnya datar dibalas dengan anggukan sopan Mark.
Mark melihat ke arahku lagi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya. Kau boleh pulang, Mark. Thanks untuk hari ini."
Dia berjongkok di depanku lagi. "Kau yakin?" dia menyentuh daguku, menaikkannya keatas, dia melihat leherku yang mungkin memerah karena kejadian tadi.
Dia menggeleng dan berdecak.
"Kenapa?"
"Kau tidak baik-baik saja. Aku akan meresepkan obat untuk leher mu yang merah itu dan kaki mu yang terkilir." ucapnya sambil jarinya ingin menyentuh leherku.
"Jangan berani kau menyentuhku, Mark." ucapku seperti bisikan namun dapat didengar orang yang ada disini.
"Wow, baiklah, Jane." ucapnya melepas tangannya dari daguku.
"Berikan aku obat yang membuatku kembali normal, aku harus ke pesta akhir minggu ini."
"Aku ragu kau bisa menggunakan heels."
"Harus bisa. Kau harus membuatku bisa menggunakannya."
Dia menghela nafasnya. "Kau selalu seperti ini."
"Tuliskan resepnya dan berikan pada Yohannah. Thanks, Mark." ucapku padanya.
Mark berdiri dan mengemas barang-barangnya. "Aku pulang, telpon aku jika kau butuhkan sesuatu."
Aku mengangguk dan dia berbalik mengikuti Yohannah ke pintu keluar. Aku melihat ke arah Eric yang memandangiku.
"Aku hampir lupa kalau kau masih disini." ucapku padanya. "Aku akan menandatangani kontrak itu." ucapku padanya.
"Kau boleh memikirkannya dulu."
"Aku memang harus berterima kasih padamu untuk hari ini."
"Kau bisa ke kantor Infinity Air, hari Rabu depan. Aku akan ada disana."
Aku mengangguk. "Aku akan kesana hari Rabu." aku terdiam dan melihat wajahnya yang tanpa ekspresi. "Apa kau bisa merahasiakannya?"
"Mengenai?"
"Ibuku."
"Apa dia ibu kandungmu?"
Aku mengangguk. "Aku baru menemukannya tiga tahun terakhir ini, aku menemukannya di rumah sakit jiwa."
"Apa tidak sebaiknya dia dirawat disana?"
"Ku rasa yang dia butuhkan hanya kasih sayang."
"Kau juga sibuk."
Aku menutup mataku. "Aku tidak bisa menjauh darinya setelah hampir delapan belas tahun kita berpisah."
Dia mengangguk. "Baiklah aku akan pulang, sebaiknya kau istirahat."
Aku mengangguk dan mencoba untuk berdiri, namun tangan kanannya menahan pundakku. "Istirahat." ucapnya padaku.
Wajahnya datar, namun aku dapat melihat ketulusan dari matanya. Dia seperti menyihirku untuk menganggukan kepala. Setelah dia membuatku tersihir, dia membalikkan badannya dan pergi menuju pintu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Life
RomanceMATURE CONTENT. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA [ 21+ ] Dia mendekat ke arahku, bagai dewa kematian yang siap menjemputku. Auranya dingin, menakutkan, dan begitu gelap. kata-kata itu sangat cocok untuk disematkan pada dirinya. Aku seperti pernah melihatny...