Aku sama sekali tidak bisa tidur malam ini, ku hantuk-hantukkan kepalaku kedinding belakang kamarku. Tidak ada cara lain untuk menggagalkan kontraknya. Dia begitu licik! Aku menyesal pernah menganggapnya baik.
Aku sudah berulang-ulang kali menarik nafas panjang hari ini, kuputuskan untuk turun dari ranjangku dan keluar kamar. Aku berjalan ke arah kamar ibu, mengintip sedikit dari pintu.
Terlihat dia tertidur pulas, aku berjalan perlahan dan duduk di tepi ranjangnya. Ku pandangi wajahnya yang damai saat tidur, pelan-pela kurapihkan helai rambut yang menutupi wajahnya.
Dia terlihat begitu cantik, aku bahkan merasa dia tidak berbeda saat aku meninggalkannya pada umur sepuluh tahun. Aku sangat menyukai memandanginya saat tidur. Hatiku menghangat dan merasakan nyaman.
Aku tidak memiliki kenangan indah tentang ibuku, dia sudah seperti ini sejak aku mengenalnya. Kami hidup hanya berdua. Aku bahkan tidak mengingat wajah ayahku.
Semuanya seperti kabur, aku seperti hidup kembali saat ditemukan oleh pasangan Bennett di rumah sakit. Aku bahkan tidak ingat kenapa aku bisa berada di rumah sakit. Ayah dan ibu angkatku tidak pernah membahasnya.
Mereka menganggapku anak mereka sendiri dan seperti memulai dari awal. Tapi aku tidak bisa melupakan wajah ibu, aku selalu ingat wajahnya yang sedih, ketakutan dan marah. Dia kadang tersenyum saat aku membawakan roti kesukaannya
Aku menarik napas dan tidur disebelah ibu, ku harap dia tidak terbangun dan terkejut saat melihat ku tidur disini.
"Bu, aku mohon kali ini biarkan aku tidur bersamamu." Bisikku agar tidak membangunkannya.
Aku tidur di sisi tempat tidur yang kosong. "Bu, aku mengalami hari yang sangat berat." Aku menggenggam tangannya. "Andai kau bisa memelukku." Aku merapatkan diri ke sisi ibu, menghirup aromanya membuatku membayangkan dipeluk oleh ibu. Lalu aku tertidur.
Matahari seakan menusuk mata, mengganggu tidur nyenyakku. Aku membuka mata perlahan, kamar ini begitu asing. Teringat kemarin malam aku tidur di kamar ibu, namun aku sekarang sendiri disini. Apa ibu sudah bangun? Dia tidak terkejut atau marah padaku?
Aku cepat-cepat keluar mencari ibu, kulihat dia sedang bersama Yohannah. Dia sedang menggendong bonekanya sambil disuapi sarapan oleh Yohanna. Aku tersenyum pada Yohannah.
"Halo, Giselle." Ucapku pada ibu. "Bayimu lucu."
"Hi." Dia melihatku. "Terimakasih. Siapa namamu?"
"Jane." Ucapku.
"Ah ya. Namamu seperti nama anakku."
Aku mengangguk. "Nama yang indah."
Dia tersenyum. "Ya, kau juga cantik seperti anakku."
"Terimakasih."
"Yohannah, bisa kau pegang Jane sebentar." Ucap ibu pada Yohannah.
"Ya, tentu." Dia mengambil boneka dari tangan ibu dengan hati-hati, seperti memegang bayi yang sesungguhnya.
Tiba-tiba ibu memelukku, tubuhku menegang karena begitu terkejut. Dia menepuk-nepuk punggungku, lalu melepas pelukannya. "Kau terlihat sedang bersedih, banyak orang yang bilang pelukan dapat meredakan kesedihan."
Aku masih diam mematung, ibu mengambil boneka dari tangan Yohannah. Air mata menggenang di kelopak mata. "Terimakasih, Giselle. Itu sangat berarti untukku."
Dia mengangguk. "Sama-sama." Ucapnya yang fokus pada boneka yang dia gendong.
Aku tersenyum melihat itu, ingin sekali aku membalas pelukannya. Sayangnya, nanti dia pasti akan mengamuk seperti biasanya. Jadi lebih baik aku kembali ke kamarku, lagipula hari ini aku ada pemotretan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Life
RomanceMATURE CONTENT. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA [ 21+ ] Dia mendekat ke arahku, bagai dewa kematian yang siap menjemputku. Auranya dingin, menakutkan, dan begitu gelap. kata-kata itu sangat cocok untuk disematkan pada dirinya. Aku seperti pernah melihatny...