Insiden

1.5K 276 12
                                        


Happy reading!
Vote-nya ditunggu kalau kalian suka!

°°°°

"Ini nggak semudah yang lo pikir, Fa," gumam Rain pelan saat ia sudah duduk di dalam kelasnya.

°°°°

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Siswa-siswi pun berbondong-bondong keluar dari gerbang, menyemut di jalan seperti biasa.

Rain melangkah seperti hari-hari sebelumnya—pelan dan lesu. Setiap langkahnya terasa berat. Tubuhnya seperti tak berasa, jiwanya hampa. Rain benar-benar mati rasa kali ini.

Orang-orang di jalan menatapnya dengan heran. Wajah-wajah penasaran seolah bertanya, "Kenapa anak semuda itu terlihat memikul beban seberat itu?" Seharusnya hal seperti itu tak terlintas di benak anak seumurannya. Tapi Rain—Rain bukan anak biasa. Insiden di masa lalunya terlalu berat untuk dihapus begitu saja.

Mereka nggak akan paham, batin Rain pilu.

Sesampainya di apartemen, Rain segera mengganti pakaian dan merebahkan diri di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya, terpaku pada satu pertanyaan yang kembali menghantui pikirannya.

"Kenapa aku tinggal sendiri?"

Pertanyaan itu seharusnya tak muncul lagi, karena sebenarnya Rain sudah tahu jawabannya.

"Kenapa hal bodoh itu harus terjadi?! Aakhh!!" teriak Rain frustasi. Ia mengacak-ngacak rambutnya, dan akhirnya air mata yang sejak tadi tertahan jatuh membasahi pipinya.

Flashback on

"Rain, Mama pergi dulu ya. Jaga Mentari di rumah," pesan Mama, disambut anggukan manis dari Rain.

"Siap, Ma! Rain pasti jagain Mentari," ucapnya dengan semangat.

Mentari, adik Rain yang baru berusia tiga tahun, sedang asyik bermain bola karet kesayangannya. Saat Rain hendak menghampiri, ia teringat bahwa kompor yang digunakan Mama tadi belum dimatikan. Ia pun bergegas ke dapur, meninggalkan Mentari sendirian.

Mentari, yang terlalu fokus pada mainannya, tak menyadari bahwa bola itu memantul hingga keluar dari rumah, tepat ke jalan.

Tanpa pikir panjang, Mentari mengejar bola itu. Bola itu berhenti di tengah jalan yang ramai oleh lalu lintas kendaraan.

Anak sekecil Mentari tak memahami bahaya. Ia mengambil bola itu tanpa ragu. Dan saat itulah, sebuah truk yang melaju oleng ke arahnya tak sempat menghindar. Tubuh kecil Mentari terpental, kepalanya membentur batu besar di pinggir jalan...

Flashback off

"Aahhkk…!!" Rain kembali berteriak. Rasa sesal dan frustasi menghantamnya tanpa ampun.

"Kenapa gue ninggalin dia sendirian?! Kenapa gue sebodoh itu?!"

"Gue yang salah... Maafin Kakak, Tari… Maafin Kakak…" ucapnya tersedu, nafasnya tersengal oleh tangis yang tak lagi bisa ia bendung.

"Rain yang bodoh… Rain yang bodoh!" Ia terus menyalahkan dirinya sendiri, tanpa sempat berpikir bahwa mungkin—semua itu memang sudah takdir dari Sang Kuasa.

°°°°

Pukul 7 pagi.

Anak-anak seusia Rain biasanya sudah bersiap berangkat ke sekolah, bahkan sebagian besar sudah sampai di gerbang. Apalagi yang duduk di bangku SMA.

Namun berbeda dengan Rain. Gadis itu masih terbaring di kasurnya. Bukan karena malas, tapi karena jiwanya yang lelah. Meski ia tetap berangkat sekolah, kebiasaannya tak berubah—selalu terlambat.

"Rain, lo ke mana sih? Bel udah masuk, tapi lo belum datang juga," gumam Shifa, sahabatnya, kesal sambil berdiri di depan gerbang sekolah. Rain memang masih sama, tak berubah sejak kemarin. Ucapannya pun seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

"Rain… hhh, anak itu susah banget dikasih tahu," desah Shifa sebelum akhirnya memutuskan masuk ke kelas.

Rain masih melangkah pelan menuju sekolah. Wajahnya jauh dari semangat. Hampa. Tak ada lagi yang membuat hidupnya terasa hidup.

"Permisi, gue nyari SMA Bangsawan. Lo tahu nggak?"

Suara seorang pria tiba-tiba terdengar dari arah samping. Rain menoleh, dan mendapati seorang cowok di dalam mobil mewah yang berhenti di dekatnya.

Pria itu menatap Rain dengan bingung. Kenapa gadis ini terlihat begitu kehilangan arah? Tapi Rain sudah terlalu sering mendapat tatapan dan pertanyaan seperti itu. Ia menarik napas pendek.

"Di depan sana," jawab Rain singkat, lalu melanjutkan langkahnya.

"Ehh tunggu! Tapi bukannya ini udah jam masuk ya?! Woy?!" teriak pria itu, baru sadar kalau seharusnya jam segini para siswa sudah ada di kelas. Tapi gadis ini? Ia masih santai di jalan, padahal jelas-jelas memakai seragam sekolah.

Pria itu akhirnya memilih untuk tidak ikut campur. Ia menutup kaca mobil, menyalakan mesin, dan melaju dengan kecepatan normal.

TBC. Loveyouu!

LUKA I [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang