BAB 1

60.5K 648 6
                                    

Ibu selalu menasehati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap "pria nakal", dan aku mendengar nasehat itu hampir sepanjang hidup.

Ibu pasti mengira aku telah memahaminya. Namun, saat aku meletakkan bantal di wajah lalu mentupi seluruh tubuh dengan selimut untuk menelepon Riko Meilando, pria nakal kaya raya yang terus-menerus mendekatiku selama beberapa minggu, itu tidak bagus, untuk ibuku, sudah pasti.

Yang aku tahu, Riko sudah putus dengan Alia satu bulan yang lalu. Alia Mega yang cantik dan pintar. Seorang kutu buku yang ekspresi wajahnya terbatas pada variasi kebosanan dan kesombongan yang menyebalkan. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mempermalukannya di depan teman-teman. Tentu saja, hanya jika aku bisa menangkap detik-detik momen cerobohnya.

Tapi jujur, Alia punya mata yang bagus. Dan cara dia melihat saat tersenyum kepadaku ...

"Persetan!" gumamku, lalu menyibakkan selimut, mengayunkan kaki ke lantai, mengambil beberapa langkah ke depan, menatap pintu kamar dan aku tidak mendengar suara televisi di ruang keluarga menyala. Ibu sudah tidur. Dia pasti akan marah jika mengetahui aku menelepon pria yang tidak akan direstuinya pada jam sebelas malam. Aku yakin seratus persen.

Aku kembali menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggirannya. Jari-jariku menelusuri nama kontak di ponsel dan tanpa sadar tersenyum ketika melihat kontak Riko yang namanya aku samarkan: "Penjaga Perpus" (seandainya Ibu melihat nomornya berkedip di layar ponselku). Tadi dia izin untuk mandi dan akan meneleponku kembali setelah selesai.

Secercah cahaya yang hinggap di jendela kamar menarik perhatianku. Aku yakin sumber cahayanya dari rumah depan. Pecandu tinggal di sana dan selalu ada orang yang datang larut malam, jadi aku tidak perlu penasaran dan bersiap kembali sembunyi di dalam selimut ketika Riko menelepon. Namun, semua pikiran tentang Riko tiba-tiba hilang dari kepalaku saat cahaya yang tadinya kuning menjadi oranye, dan semakin terang. Otakku perlahan memproses bahwa yang kulihat itu bukan cahaya, tetapi api.

Aku berdiri dan mendekati jendela. Saat mataku menyapu rumah tetangga depan, sedan tua miliknya yang diparkir di teras rumah, terbakar.

Mataku melebar dan untuk sesaat, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku berjinjit untuk mencari orang dewasa atau siapa pun yang tahu harus melakukan apa, tetapi tidak ada. Sedangkan pemilik rumah dan mobil itu mungkin sekarang sudah teler di atas ranjang, tidak bisa diharapkan. Aku berlari ke luar kamar, menuju ruang tamu dan membuka pintu utama rumahku. Pandanganku mengarah tepat ke mobil terbakar itu, dan ada sebuah mobil diparkir tak jauh dari rumah tetanggaku. Dari posisiku, aku bisa melihat bagian depan mobil itu, aku yakin itu sedan, warnanya merah.

Sesuatu membuat jantungku berdegup kencang, ketika mesin sedan merah itu menyala. Hal yang sontak membuatku melangkah mundur memasuki rumah dan menutup pintu ruang tamu. Pikiran tentang: kenapa orang di dalam sedan merah itu tidak berusaha memadamkan api? Atau, jangan-jangan dia yang membakarnya? Tentu saja membuatku takut.

Jari-jariku melingkari ponsel erat-erat, dan aku memutuskan untuk menelepon polisi, tetapi ada sesuatu yang menghentikanku.

"Ayo," kata seseorang, suaranya rendah dan parau.

Kemudian seorang pria membuka pagar rumah itu, lalu melangkah ke luar. Aku tidak tahu seperti apa dia, tapi aku tahu dari rambutnya yang acak-acakan itu bukan tetanggaku. Jadi aku menyimpulkan kalau pria itu temannya yang sering berkunjung (keluar dari dalam rumah, kan?).

Aku membuka mulut untuk memanggil, tetapi sesuatu tentang caranya bergerak---dengan tenang tapi cepat, membuka pintu depan bagian penumpang sedang merah lalu membungkuk memasukinya, seolah mencoba menyembunyikan dirinya di tempat terbuka---membuatku terdiam.

Alih-alih keluar dari rumah dan berteriak, aku tenggelam dalam kengerian. Tangan yang mencengkeram ponselku bergetar saat membuka aplikasi kamera, menggesernya ke video, dan mengarahkan kamera ponsel ke rumah tetangga depan.

Pria kedua keluar dari dalam rumah. Dia tampak lebih tenang dari pria sebelumnya, seolah-olah tidak ada hal ganjil di sana. Sambil menghisap rokok dan tangan satunya disembunyikan di saku celana, dia berdiri di depan pagar cukup lama, menatap mobil yang terbakar.

Aku terkejut bukan main, ketika sekonyong-konyong ponselku berbunyi melantunkan intro lagu "Sweet Child O Mine" dengan suara yang keras! Riko menepati janjinya, menelponku. Namun tentu saja hal itu justru membuatku panik lalu dengan cepat memutus panggilan dan, sambil berharap semuanya akan baik-baik saja, pandanganku kembali ke depan. Perasaanku semakin tenggelam dalam kengerian saat mataku terhubung dengan mata Pria Kedua. Aku menjatuhkan ponselku.

Yang mengejutkan, aku mengenalnya.

Aku pernah melihatnya di kampus dan mendengar cerita tentang keluarganya.

Dan saat dia melangkah ke arahku, aku tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku takut.

Sambil berdiri tepat di depan pagar rumahku, ragu-ragu dia melihat ke mobil, lalu kembali menatapku. Aku bergegas menutup gorden dan melangkah mundur menjauhi jendela.

"Oh, Tuhan," aku merengek pelan. Aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini dalam hidupku.

Yang terjadi sekitar tiga sampai empat menit kemudian, aku mendengar suara mobil melewati rumah dan menjauh.

Dia pergi? Entah. Aku harus memeriksanya dan betul, sedan merah itu tidak ada lagi di sana.

Aku meraih ponsel di lantai dan berpikir untuk menelepon polisi. Jika aku melakukannya, polisi akan menjadikanku saksi dan akan mengajukan beberapa pertanyaan tentang apa yang terjadi.

Aku harus memberi tahu polisi bahwa Adib Bramantyo, dari keluarga Bramantyo yang terkenal, berada di lokasi ketika kebakaran terjadi.

Namun itu sangat berbahaya mengingat siapa keluarga Bramantyo. Jadi, aku membuat keputusan untuk kembali ke kamar tidur dan berusaha melupakan semua yang aku lihat, walau itu tidak mungkin.

(21+) SARANG PREDATOR (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang