[18] Dufan

300 121 20
                                    

   "aqila, ada yang dateng tuh."

   "siapa pa?"

   "katanya, namanya jeffrey."

   sudah terhitung 3 hari semenjak hari pertengkaran di antara aqila dan haidar terjadi. Sejak hari itu, aqila tidak pernah membalas pesan ataupun mengangkat telepon dari seseorang yang sudah membuatnya marah. Bahkan sampai detik ini, aqila masih menghindar dari haidar.

   Ia belum ingin menyelesaikannya dengan kepala dingin. Pasalnya, sampai detik ini pun ia masih merasa kesal dan marah dengan kenyataan yang menerpa persahabatannya dengan haidar. Sebenarnya, aqila bukanlah seseorang yang rela persahabatannya hancur karena orang lain. Anggap saja orang lain tersebut adalah seseorang yang berusaha mendekati salah satu dari mereka.

   Namun, aqila tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa haidar telah melewati batas sebagai seseorang yang katanya adalah seorang sahabat. Sahabat yang paling dekat dengannya.

   Aqila yang selama tiga hari ini hanya menghabiskan waktu di kamarnya, kini berjalan menuju ruang tamu setelah mendapati bahwa jeffrey datang ke rumahnya. Ia juga tidak mengetahui mengapa teman dari seseorang yang berhasil mengombang-ambing perasaannya tersebut tiba-tiba datang bertamu ke rumahnya.

   "kak jef." Sapa aqila.

   "hey, lesu amat." Ujar jeffrey.

   Aqila pun duduk di satu sofa yang sama dengan jeffrey. Ia memandangi jeffrey tanpa mengucapkan sepatah kata, membuat yang dipandangi kini menopang kepalanya dengan salah satu tangannya.

   "Iya tau gue ganteng, gak usah terpesona gitu deh." Ujar jeffrey meledek.

   "dih, pede banget lo kak."

   "kenyataan."

   "iya, lo ganteng.."

Aqila menjeda omongannya dan mengubah posisinya menjadi bersandar pada sofa.

   "tapi masih gantengan jodoh gue nanti dong."

   "zayn maksudnya?" tanya jeffrey.

Aqila tertawa, tidak menjawab ucapan jeffrey yang sebenarnya terdengar seperti pertanyaan.

   "lo mau minum apa, kak? biar gue buatin."

   "gue mau lo." Ucap jeffrey.

   "hah?"

   Aqila tidak mengerti. Jeffrey pun kini ikut menyandarkan dirinya pada sofa, memandang aqila dengan tatapan yang tentunya tidak bisa terbaca oleh pemikiran aqila. Lebih tepatnya, aqila sedang tidak ingin berpikir.

   "temenin gue, yuk?"

   "ke mana?"

Jeffrey menggidikkan bahunya, "ke mana aja, yang penting lo sama gue."

   Sebenarnya aqila bingung, mengapa tiba-tiba jeffrey terlihat aneh. Bahkan mereka tidak terlihat sedekat itu untuk bisa mengucapkan kalimat-kalimat yang jika didengar orang lain, itu bisa saja menjadi ambigu.

   Namun, karena aqila masih malas menggunakan otaknya untuk berpikir, ia pun menerima ajakan jeffrey. Pikir aqila, mungkin saja jeffrey sedang memiliki isi kepala yang rumit tentang mantan kekasihnya waktu itu, sehingga ia butuh seseorang untuk menemaninya menjernihkan pikirannya tersebut. Walaupun aqila tidak mengerti mengapa ia harus menjadi seseorang yang jeffrey cari.

   "itung-itung gue ikut jernihin pikiran gue juga deh." Gumam aqila dalam hati.

   Setelah menerima ajakan jeffrey, kini aqila pun pergi meninggalkan rumahnya setelah beberapa hari hanya mengurung diri tanpa melakukan apa-apa, mengikuti kemauan jeffrey yang entah akan mengajaknya ke mana.

ETERNAL DESTINY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang