Sudah lebih dari satu minggu semenjak hari terakhir gue bertemu dengan aqila, namun sepertinya waktu berjalan begitu lambat. Apa ini hanya perasaan gue atau memang ini hukuman buat gue? Gue gak tau. Aqila bahkan tidak pernah menghubungi gue setelah kejadian sore itu. Begitu pun sebaliknya.
Kenapa gue gak mencoba buat menghubungi dia? Padahal hal itu bisa aja gue lakuin daripada terus menebak-nebak tentang keadaan aqila setiap harinya.
"Apa aqila udah baik-baik aja sekarang?"
"Apa dia pernah nyoba untuk ngehubungin gue?"
"Apa ternyata, aqila ngebenci gue yang udah ngebiarin dia pergi sama temennya dan bahkan gak ngehubungin dia?"
Shit. Gue benci dengan semua logika-logika gak masuk akal yang ada di kepala gue sekarang.
Itu semakin memperjelas keadaan, kalau gue cuma seorang pecundang yang bahkan gak berani buat ambil pilihan, atau bahkan sekedar menghadapi kenyataan.
Gue memutar-memutar pena yang sedari tadi gue pegang di balik meja kasir. Hari ini adalah hari kesekian yang selalu gue habiskan di kafe. Biasanya walaupun berada di kafe, mungkin gue cuma sekedar memeriksa bahan-bahan yang datang ataupun sekedar singgah sebentar.
Namun akhir-akhir ini, gue benar-benar keliatan seperti seseorang yang berusaha lari dari kenyataan. Sebenernya, apa sih yang lagi berusaha untuk gue hindarin? Kenapa hal itu bahkan selalu membuat gue kehilangan fokus, seperti sekarang.
"bang."
"bang zen!"
Gue tersentak kaget. Ternyata itu dewa, adiknya jeffrey.
"oh, eh dewa. Tumben ke sini." Jawab gue dengan intonasi tidak karuan.
"lo kenapa deh bang? Sakit?" tanya dewa.
"hah, enggak kok." Gue tersenyum.
"kecapean deh kayaknya."
"haha, iya kayaknya. Lo mau pesen apa? mau ngerjain tugas ya?"
Dewa memindai menu yang terpampang di dinding di balik meja kasir dengan gestur seperti seseorang yang sedang menimbang-nimbang, "gue pesen caffee latte aja deh, biar cepet abis."
Gue mengangguk mengerti.
Gue mulai menyiapkan caffe latte sambil sesekali merhatiin dewa yang keliatan sibuk dengan bawaan di dalem tasnya, beberapa buku catatan dan juga buku kuliah.
"mau nugas atau mau ngapain?" tanya gue penasaran.
"oh, enggak bang. Gue ada janji ketemu sama dosen, ada kesalahpahaman yang harus diselesain."
Gue menatap dewa bingung, "salah paham?" tanya gue berusaha meminta penjelasan lebih dari dewa. Dewa menumpuk buku-buku yang sebelumnya keliatan kayak lagi dipilah-pilah, kemudian dia mandang ke arah gue.
"seminggu yang lalu, salah satu dosen gue ngadain UTS lebih awal. Setelah semua jawaban dikoreksi, dosen pengampu itu bilang kalo jawaban gue sama dengan dua mahasiswa lain dari kelas itu."
"dosen itu bilang, kalo ketiga mahasiswa itu termasuk gue salah satunya bakal dihangusin nilai UTSnya. Awalnya gue gak peduli, walaupun gue gak merasa ngelakuin kecurangan juga, karena gue pikir paling dosen ini kalo gue jelasin juga gak akan percaya." Ujar dewa.
Gue menyimak dewa yang masih bercerita sambil menaruh caffee latte yang tadi dia pesan. Sekarang gue ikut duduk di samping dewa, di stolen bar di depan meja kasir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNAL DESTINY
Fanfic[END] Zayn Lazuardi, seorang lelaki semester akhir yang suatu hari tanpa sengaja dipertemukan dengan seorang perempuan yang ia pergoki sedang memandanginya ketika ia sedang tertidur di dalam bus, juga dengan pertemuan lainnya yang terjadi secara...
