[22] Sasa: Sebuah Alasan

357 117 30
                                    

   "gue ini egois ya bim, gue gak pengen dia terluka gara-gara gue."

   "tapi, gue juga gak mau liat dia ketawa sama perempuan lain."

***

   Hari ini gue menjalani hari seperti biasa. Bangun tidur, menatap langit-langit kamar, mandi, sarapan, dan pergi ke kampus untuk bimbingan. Gue sudah memasuki tahap akhir kuliah, bisa dibilang sudah sangat akhir mengingat sebentar lagi gue sudah bisa mendaftar sidang jika tidak ada halangan.

Itu pun kalau masih diberi kesempatan untuk merasakan sidang.

   Setiap harinya tidak ada yang berbeda. Mungkin hanya satu yang berbeda, tidak ada jeffrey lagi di sini. Tidak ada jeffrey yang selalu cerewet, spam, berisik, dan jahil. Mungkin itu juga yang membuat hilangnya sosok jeffrey sangat terasa.

   Berkali-kali gue mengutuk diri sendiri atas keputusan yang sudah gue buat, keputusan yang membuat gue semakin menyedihkan setiap harinya. Akan tetapi, jika harus mengulang waktu, mungkin gue akan tetap mengambil keputusan yang sama.

Yaitu, melepas jeffrey pergi.

   "sa, lo yakin mau ambil keputusan kaya gini? Lo yakin gak akan nyesel?"

   "gue harus yakin, bim."

   "ambil jalan lain aja, sa. Yang terluka bukan cuma dia, tapi lo juga."

   "gak bisa, bim."

   Gue menyandarkan diri pada kursi yang gue duduki di salah satu kafe yang gue datangi bersama bima, teman lama sekaligus seseorang yang gue yakini menjadi seseorang yang jeffrey pikir adalah selingkuhan gue.

   Gue yang beberapa hari lalu membutuhkan waktu lebih untuk bisa menjelaskan alasan-alasan yang pas atas keinginan gue melepas jeffrey, tiba-tiba saja terenggut oleh suatu keadaan yang paling gue benci. Keadaan di mana jeffrey sedang melihat gue bersama bima hari itu. Gue bisa melihat dengan jelas raut kekecewaan jeffrey pada gue. Kekecewaan itu juga didukung dengan sikap jeffrey yang langsung mengambil keputusan sepihak, tanpa pernah mengizinkan gue untuk menjelaskan.

   Namun gue paham, siapa yang tidak akan salah paham dengan keadaan yang terjadi di antara jeffrey, gue dan juga bima. Gue tidak pernah menduga bahwa kemungkinan terburuk juga bisa dengan mudah merenggut segala rencana yang berusaha gue pikirkan matang-matang.

   Nasi sudah menjadi bubur, sehingga gue selalu berusaha menguatkan diri di atas kejadian yang sudah terjadi.

   "mungkin dengan kaya gini bisa ngebuat jeffrey bisa lebih mudah ngelepas gue." Ucap gue dengan tatapan kosong ke depan.

   "gak ada yang namanya mudah, sa. Udah gue bilang, yang terluka gak cuma dia, tapi lo juga."

   "luka ya? Haha, gue udah terbiasa deh kayanya bim ada di posisi yang selalu disalahpahamin." Ucap gue sarkas.

   "sa, emang lo mau ngebuat diri lo di mata jeffrey sebagai seseorang yang akhirnya nyelingkuhin dia ketika sebenernya bukan itu kenyataannya?"

   Gue tertunduk bersamaan dengan air mata gue yang perlahan jatuh. Mengingat segala hal menyakitkan yang tidak gue harapkan sebenarnya sangat menyiksa. Bukan kejadian seperti ini yang gue mau. Gue tidak pernah ingin membuat jeffrey berpikir bahwa gue bermaksud meninggalkannya karena gue memiliki seseorang lain.

   Akan tetapi, berusaha mencari kesempatan untuk menjelaskan pada jeffrey pun tidak akan menyelesaikan masalah, karena pada akhirnya jeffrey akan terlihat seperti sedang gue permainkan. Apa gunanya gue menjelaskan jika pada akhirnya jeffrey tetap akan gue tinggalkan? Bukannya gue hanya akan terlihat egois karena sampai akhir gue hanya memperdulikan diri gue sendiri?

ETERNAL DESTINY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang