[27] Sasa: Keputusan Akhir

322 71 43
                                    

[BGM Recommendation: AILEE – Breaking Down]

   Dalam beberapa hal, terkadang kita sering menyesali keputusan yang sudah kita ambil seberapa keras pun kita mencoba untuk menerimanya. Dalam beberapa hal, terkadang kita takut dengan kebahagiaan yang menghampiri karena selalu ada kesedihan yang mengikuti setelahnya.

   Dua hal yang selalu menjadi momok menakutkan bagi manusia. Dua hal itu selalu menjadi hal yang mungkin bisa dibilang selalu mengikuti hidup gue sejak gue lahir ke dunia. Terkadang, gue mempertanyakan arti dari hidup gue sendiri. Gue selalu bertanya, mengapa gue dilahirkan? Mengapa gue harus menjalani hidup? Mengapa gue harus mencintai?

   Setiap pertanyaan yang tidak pernah gue temukan jawabannya seberapa keras pun gue mencari tahu, atau mungkin gue yang selalu menolak untuk mendengar setiap jawaban yang tidak sesuai dengan keinginan gue?

   Ada masa di mana gue merasa bahagia, ketika kedua orang tua gue masih bersama gue kala itu. Hari-hari yang dipenuhi suara tawa masa kecil, suara papa dan juga suara mama. Hari-hari di mana gue bisa memanggil mereka dari balik pintu pagar rumah selepas sekolah. Juga, suara papa mama yang memenuhi rumah dengan celotehannya masing-masing. Semuanya sangat indah sampai ditahap gue tidak pernah membandingkan apapun di hidup gue.

Gue bersyukur dan itu cukup.

   Masa-masa indah yang tidak pernah gue bayangkan akan lenyap hanya dalam satu detik pergantian waktu. Hari-hari di mana gue terbiasa membuka pagar rumah dengan memanggil papa dan mama yang berada di salah satu sudut rumah, tiba-tiba terganti dengan kebingungan yang untuk pertama kalinya tergambar dari raut wajah gue saat melihat rumah yang dipenuhi dengan kumpulan orang-orang mengenakan pakaian serba hitam.

Mereka menatap gue dengan penuh rasa iba.

   Seperti warna itu sendiri, gelap dan menakutkan. Semakin terasa menakutkan kala gue berlari ke dalam rumah dan yang gue rasakan bukanlah sambutan hangat yang biasa gue dapatkan dari papa dan mama, melainkan 2 kain putih panjang yang menutupi 2 sosok tubuh yang gue harap bukan tubuh dari seseorang yang gue kenal. Gue masih berharap ada sosok papa dan mama yang datang dan menghampiri gue untuk menjelaskan siapa yang sedang berduka di rumah kami. Harapan yang langsung sirna tatkala gue melihat dua buah pigura berbingkai hitam dengan foto papa dan mama terpampang jelas di sana.

   Gue terjatuh, mencari secercah harapan baik dari hal yang sedang gue saksikan. Namun, semua itu semakin runtuh tatkala om datang merengkuh gue ke dalam pelukannya sambil berkata,

   "sasa, ada paman di sini, sasa gak sendirian. Ikhlasin papa sama mama ya, nak."

   Sedetik setelah ucapan om terngiang di pendengaran gue, gue meneteskan air mata yang terus mengalir tanpa suara, gue tersedak tangisan gue sendiri. Gue berusaha memberontak, memukul diri sendiri sekuat tenaga dengan niat memaksa diri bangun dari mimpi yang berkepanjangan. Mimpi yang tidak akan pernah usai.

   Hari itu, papa dan mama berniat menjemput gue untuk merayakan hari pernikahannya bersama dengan gue, anak mereka satu-satunya. Mereka berkata sudah berada di depan sekolah ketika sebenarnya gue sudah tidak berada di sekolah karena sedang menghadiri salah satu pameran di alun-alun kota.

   Hari itu, gue berkata melalui panggilan telepon, "duluan aja ma, nanti sasa nyusul ya sejam lagi. Nanti sasa balik dulu ke rumah sekalian ganti baju. Papa mama pacaran aja dulu berdua." Ucap gue sambil bercanda kala itu.

   Ucapan terakhir yang tidak pernah gue sangka akan benar-benar menjadi yang terakhir kalinya gue berbicara dengan mama. Karena tepat setelah mereka berbalik dari sekolah, mobil yang mereka naiki tertabrak oleh sebuah truk pengangkut barang yang berusaha menghindari motor yang tiba-tiba melintas.

ETERNAL DESTINY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang