Jangan lupa follow, vote dan komen😄
-Happy Reading-
"Anjir, itu muka apa lukisan anak bayi ancur amat!" Sedari tadi Nita tak berhenti mengejek Zardan yang sekarang tengah diobati oleh sang bunda.
"Mana ada anak bayi yang bisa ngelukis, nga-akh ... Bun, pelan-pelan," ujar Zardan seraya menahan tangan Sinta. Wajahnya yang dipenuhi lebam membuat Sinta geram, ia paling tidak suka jika Zardan berkelahi.
Zardan bisa sampai ke rumah seperti ini karena Dita yang menjemputnya.
"Lagian, siapa suruh jadi jagoan!" ujar Sinta, tangannya dengan telaten mengobati setiap lebam yang ada di wajah Zardan. Sesekali ia menekannya membuat Zardan merintih kesakitan.
"Masa aku tinggalin cewek yang lagi kesusahan sih, bun," jawab Zardan seraya menjauhkan wajahnya dari tangan Sinta. "Udah bun," tambahnya.
Sinta meletakkan kotak P3K itu ke tempat semula. Lalu kembali duduk mendengarkan cerita Zardan kenapa sampai berkelahi seperti ini.
" ... Ternyata Zaya itu teman kecil aku loh!" Zardan mengakhiri ceritanya dengan mengungkap fakta yang juga baru ia dapatkan.
"Nah, apa kata kakak! Bener 'kan teman kamu itu masih hidup," timpal Dita dengan bangganya.
"Sejak kapak Kak Dita bilang, perasaan gak ada deh," gumam Zardan yang didengar oleh Dita. Langsung saja Dita menarik telinga sang adik kuat.
"Ngeselin, pas aku lagi baik aja dilupain. Eh buruknya baru kamu ingat, iya 'kan?"
Dengan polosnya Zardan menggangguk membenarkan ucapan Dita barusan.
Sinta menggusap rambut sang anak dengan lembut. "Alhamdulillah, kamu jangan uring-uringan lagi ya. Kan udah ketemu," ucapnya ikut senang mengetahui bahwa teman kecil yang selalu anaknya ini tunggu akhirnya datang juga.
Apalagi saat Zardan mengatakan bahwa Zaya tinggal di sebuah panti asuhan, membuat hati Sinta terenyuh. Pasti banyak hal yang telah dilalui anak itu, sampai ia bisa bertahan sejauh ini.
"Kak Dita lepasin!" pinta Zardan seraya menjambak rambut sang kakak karena telinganya yang masih saja dijewer itu.
"Woi! Lepas, nanti rambut kakak yang cantik ini rontok Zardan!" balas Dita tak kalah nyaring membuat Sinta langsung meninggalkan kedua anaknya itu dan berjalan menuju dapur, bersiap untuk memasak.
"Tarik yang kuat, Dan!" celetuk Riki yang baru saja keluar dari kamar yang berada tak jauh dari tempat Zardan dan Dita duduk.
"Riki!" Dita menatap sang pacar nyalang, tangannya masih menjewer telinga Zardan kuat menyebabkan telinga itu langsung berubah warna menjadi merah. Begitu pula dengan jambakan dirambutnya yang semakin kuat.
Karena keduanya tidak ada yang mau mengalah, Riki dengan iseng membuka ponselnya lalu membuka ikon kamera dan mengarahkannya pada kakak beradik itu.
Cekrek!
Suara serta flash yang lupa diatur oleh Riki membuat keduanya kompak menoleh, lalu tertawa melihat Riki yang menahan malu. Keduanya sudah tak lagi saling menjambak dan menjewer, sekarang mereka sibuk menertawakan Riki.
"Ternyata dokter bisa malu juga ya," kekeh Zardan.
"Gagal deh nyari aib nya!" tambah Dita meledek sang pacar sekaligus tunangannya itu. Ternyata jalan-jalan mereka kemarin, Riki langsung melamarnya dan malam harinya kedua keluarga itu kembali mengadakan pertemuan, hanya makan malam biasa saja.
Riki tersenyum remeh, lalu memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan wajah Dita dan Zardan.
Dita langsung menarik Riki agar duduk, lalu menindihnya karena Riki yang terus menjauhkan ponselnya dari jangkuan Dita yang ingin menghapus foto itu.
"Kak istighfar, kak! Kok jadi cewek agresif banget sih." Zardan menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Dita yang masih saja berada di atas tubuh Riki.
"Bantuin kenapa sih, dek!" ujar Dita disela-sela aksinya merebut ponsel, tetapi Zardan sama sekali tak menggubrisnya ia malah terlihat berjalan ke arah kamar yang tadi Riki masuki.
"Ogah, lagian muka aku keliatan masih ganteng kok. Kalo Kak Dita emang udah jelek dari sana nya, kan?" ejek Zardan menatap jahil sang kakak yang mengeram menahan marah.
"Bercanda kak," tambah Zardan saat melihat wajah sang kakak yang mulai berkaca-kaca.
"Punya adik ngeselin banget," gerutu Dita sambil menghirup aroma tubuh sang pacar. "Kamu kok wangi terus sih," tambahnya kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Riki.
"Dita! Kamu mau ngapain!" teriak Sinta dengan membawa pisau bekas memotong daging ayam dari dapur. Mengacungkan pisau itu ke arah anak serta calon menantunya.
"Belum halal juga," cibir Sinta setelah Dita turun dari atas tubuh Riki. Lalu menampilkan cengiran tak bersalahnya pada sang bunda.
"Khilaf bun."
"Apa?" ujar Sinta mendekat dengan pisau yang masih berada di tangannya.
"Bunda kamu kayaknya mau berubah jadi psikopat deh," bisik Riki yang langsung diangguki oleh Dita.
"Kayaknya s--"
"Kenapa bisik-bisik! Udahlah Dita, kamu bantuin bunda masak aja daripada pacaran terus sama Riki." Sinta menarik Dita yang dengan terpaksa mengikuti langkah sang bunda.
"Dadah, aku masak dulu ya. Kamu jangan kemana-mana!" peringat Dita pada Riki.
"Iya, masak yang enak dan banyak ya. Aku mau numpang makan sama bawa ke rumah sakit," tuturnya.
Riki memang sudah sangat dekat dengan keluarga Erlangga. Ia juga sudah dianggap seperti anak sendiri oleh kedua orang tua pacarnya itu. Mungkin karena keduanya yang sudah tunangan, membuat ikatan kedua keluarga mereka menjadi begitu lebih dekat dari sebelumnya.
Sedangkan di kamar, terlihat Zardan tak hentinya menciumi tangan Zaya yang masih terlelap.
"Ternyata benar ya, kamu memang tambah cantik, apalagi lesung pipinya makin dalam gini," ujarnya sambil menoel pipi berlobang Zaya. Lalu menusuk-nusuk jarinya di sana, persis seperti yang biasa ia lakukan saat kecil dulu.
"Kenapa diganggu," tegur Riki saat masuk ke dalam kamar. Karena ia bosan jika hanya bermain ponsel saja.
Zardan hanya tersenyum tipis. "Gak papa, dia juga gak bakalan kebangun kok."
"Kamu udah kenal lama sama dia?" tanya Riki penasaran sambil duduk di dekat Zardan.
"Udah temenan dari kecil malah," jawabnya seraya terkekeh. Berbeda dengan sifat Zardan yang biasanya hanya mengucapkan perkataan pedas, kini berubah dalam waktu sekejap menjadi lebih sering tertawa.
Riki yang melihat perubahan dari Zardan hanya tersenyum saja. Lalu tatapannya kembali beralih pada sosok perempuan yang baru ditemuinya siang tadi, tetapi sekarang mereka bertemu lagi. Zaya, seorang siswi SMA yang beberapa saat lalu ia diagnosa menderita kanker otak.
Riki sangat berharap jika Zaya ingin melakukan operasi secepatnya, tapi keputusan itu kembali lagi pada diri Zaya sendiri. Ia sebagai dokter hanya menyarankan dan akan melakukan yang terbaik untuk pasiennya.
"Bang, dia sakit apa?" tanya Zardan.
Riki yang melihat raut wajah Zardan yang penasaran terkekeh geli. "Kamu suka sama Zaya, ya?"
"E-enggak, nanya doang. Tinggal jawab aja kenapa sih," kesalnya.
"Dia sakit ...."
___Nungguin ya😂😆
See you♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Zardan & Zaya [END]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA YA] [TERBIT] Zaya kehilangan semuanya, hidupnya seolah tak lagi berarti sebab penyakit yang dideritanya. Ia juga harus hidup di sebuah panti asuhan. Namun, ada satu nama yang berhasil membuatnya kembali ingin tetap hidup dan ba...