Seminggu sudah berlalu semuanya berjalan seperti biasa. Sesuai dengan perjanjiannya minggu lalu, hari ini Zaya kembali mendatangi rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaannya.
Dengan langkah pasti dan sedikit gugup Zaya membuka pintu di depannya. Dokter Riki yang baru saja selesai membaca hasil pemeriksaan milik Zaya langsung menetralkan raut wajahnya. Tak lupa ia juga tersenyum, seraya menyuruh Zaya agar duduk.
"Gimana d-- eh Kak Riki?" tanya Zaya penasaran sambil memanggil Riki dengan sebutan Kak, karena memang ia sendirilah yang menyuruh Zaya memanggilnya seperti itu.
Riki tidak langsung menjawabnya, ia masih saja menatap ke arah Zaya dengan tatapan sendu. Sebenarnya ia tidak tega saat memberikan hasil pemeriksaan itu pada Zaya, tetapi mau bagaimana lagi. Ia harus memberikannya.
"Seperti yang dapat kamu baca di sana, kamu divonis mengidap kanker otak stadium dua. Namun, saat stadium awal seperti ini kemungkinan sembuh sangat besar jika kamu bersedia dioperasi untuk pengangkatan tumor ...." Riki menjelaskan semuanya, bahkan ia sendiri pun merasa tak percaya dengan hasil itu, berulang-ulang kali juga Riki memeriksa hasilnya. Namun, hasilnya tetap sama.
Zaya hanya dapat terdiam saat mendengar penjelasan dari Riki, matanya menatap fokus deretan kalimat yang ada di kertas itu. Apalagi sekarang yang harus ia hadapi, kenapa penyakit itu harus ada?
Tangisan tanpa suara itu membuat Riki hanya bisa terdiam, melihat betapa rapuhnya gadis di depannya ini. Riki sungguh tak tega, tetapi ia memang harus mengatakannya.
"Kak ...." Zaya tidak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis di depan Riki. Dadanya mulai sesak karena tangisan yang tak juga berhenti. Tangannya menarik rambut panjangnya kuat, karena sakit kepalanya yang tiba-tiba saja muncul.
Melihat itu Riki langsung berusaha melepaskan tangan Zaya, ia beranjak dari duduknya dan membawa tubuh lemah itu kedalam dekapan hangatnya. Membiarkan Zaya menangis dengan sepuasnya, bahkan bajunya ikut basah terkena air mata itu.
Cukup lama mereka dalam keadaan seperti itu, Riki tak lagi mendengar suara tangisan Zaya. Membuatnya langsung mengangkat dagu Zaya agar menatapnya. Betapa terkejutnya Riki saat Zaya sudah tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengalir di hidungnya.
Dengan cepat Riki mengangkat tubuh itu, lalu seorang suster datang membantunya. Suster itu membersihkan darah dihidung Zaya sedangkan Riki sibuk memeriksa keadaannya.
***
Setelah bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu, Zardan dan anggota basket lainnya langsung menuju kelapangan. Pakaian mereka juga berganti, membuat beberapa kaum hawa yang melihatnya menjerit histeris.
"Walaupun Zardan judes, tetap aja gantengnya gak ilang!"
"Iya, gue mah rela dikata-katain sama Zardan asal bisa dekat dia tiap hari."
"Ih, daripada Zardan mendingan sama Wingki tuh. Udah ganteng rapi lagi!"
"Iya sih, asal gak Yovi aja. Ogah gue!"
Itulah ucapan beberapa siswi saat menonton mereka latihan. Yovi yang merasa namanya disebut, langsung menatap tajam ke arah siswi itu.
"Kenapa liat-liat?" teriaknya dengan nada kesal.
Siswi-siswi tersebut sama sekali tidak menghiraukan ucapan Yovi. Mereka terus memberikan semangat pada Zardan dan juga Wingki.
"Anjir, gue dikacangin!" ujar Yovi saat ia tengah menguasai bola dan berlari menuju ring lawan. Namun, dengan cepat Zardan mengambil alih bola itu dan langsung memasukkan bola itu tepat sasaran. Membuat para penonton yang tak seberapa itu menjerit bangga pada Zardan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Zardan & Zaya [END]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA YA] [TERBIT] Zaya kehilangan semuanya, hidupnya seolah tak lagi berarti sebab penyakit yang dideritanya. Ia juga harus hidup di sebuah panti asuhan. Namun, ada satu nama yang berhasil membuatnya kembali ingin tetap hidup dan ba...