Jennie POV
"Jadi, kau memberitahuku bahwa kau benar-benar pergi ke sana tetapi dia menolak untuk bertemu denganmu? Kenapa, itu tidak mungkin?." Irene berseru, keheranan dalam suaranya.
Aku berada di kantor galeriku dan sedang berbicara di telepon. Mau tidak mau aku menceritakan apa yang terjadi tadi malam, tentang aku yang ingin menemui Lisa dan dia yang menolak untuk bertemu denganku.
"Yah, itulah yang terjadi. Dia benar-benar menolakku." Kataku acuh tak acuh. Sebisa mungkin aku berusaha menunjukkan bahwa aku tidak terpengaruh.
"Oh ayolah, jangan memberiku omong kosong itu. Aku terlalu tua untuk itu. Bukankah kita terlalu tua untuk hal seperti itu? Aku yakin dia punya alasannya."
"Well, apapun itu aku tidak tertarik untuk mengetahuinya lagi. Aku sudah melakukan usahaku jadi kurasa sudah berakhir."
"Bagaimana dengan anak-anakmu?."
"Bagaimana dengan mereka?."
"Kupikir kau akan memberi tahu Lisa tentang mereka?"
"Irene, aku sudah menceritakan semuanya padamu, kan? Katakan padaku, bagaimana aku bisa melakukan itu?." Tanyaku, mengerutkan kening.
"Kau terlalu cepat untuk menyerah. Kesabaran adalah kebaikan Jennie. Coba dan coba sampai kau berhasil."
"Kau ingin aku pergi ke sana dan mencoba berbicara dengannya lagi? Tidak akan! Bagaimana jika dia menolakku lagi?."
"Bagaimana jika tidak?." Suaranya menantang di sebrang sana.
"Percayalah, aku sangat mengenal Lisa. Saat dia mengatakan dia tidak mau, berarti dia tidak mau. Tidak ada yang bisa memaksanya, Irene."
"Benarkah? Kakeknya memaksanya untuk menikah denganmu sebelumnya, kan?." Kata Irene menggoda.
"Hei, aku baru saja memberitahumu. Jangan gunakan kata-kataku untuk melawanku... Itu tidak adil."
Aku mendengar Irene terkekeh.
"Aku hanya mencoba untuk memahami pikiranmu. Dan biarkan aku memberitahumu sesuatu tentang keinginanmu untuk menjadi sesuatu atau takdir dan apapun yang kau ingin menyebutnya. Kita adalah orang yang menciptakan dan membentuk takdir kita sendiri. Jika itu harus terjadi, itulah yang harus terjadi. Terkadang ada hal-hal yang memiliki alasan yang lebih dalam, dan jika kita mencoba melihat ke luar kita akan melihat apa yang sebenarnya terjadi di antaranya. Kau lihat, Jennie, takdir adalah jembatan yang kau bangun dengan orang yang kau cintai. Apakah perkataanku masuk akal bagimu."
"Aku- Aku rasa begitu?."
"Ya, aku tahu aku terdengar sangat aneh."
"Kau yakin begitu."
Lagi-lagi aku mendengar tawanya di seberang sana. Terkadang, aku bertanya-tanya apakah aku bisa menganggap Irene serius atau tidak. Seringkali dia membuatku semakin gila. Jadi mungkin itu sebabnya kami cepat dekat karena kami memiliki kepribadian yang sama.
Sesaat kemudian aku mendengar nada panggilan tunggu, menandakan panggilan lain menungguku untuk menjawab.
"Hei, Irene tunggu, ada panggilan menunggu. Aku perlu menerimanya, mungkin penting." Aku mengatakan.
"Oh, oke. Sampai nanti. Bye."
"Bye." Ketika Irene memutuskan panggilan, aku langsung menjawab panggilan di saluran lain.
Itu nomor Ibuku dan aku langsung merasa gugup. Ibuku tidak pernah menelepon saat aku di galeri kecuali jika itu sangat penting."Mom?--" Kataku saat aku menerima panggilannya, tapi aku tidak bisa bertanya karena Ibuku berbicara dengan cepat dan mengatakan alasan kenapa dia menelepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winning Back Mrs. Manoban [...]
FanficBook 2 Marrying Lalisa Manoban. Original story by : Winning Back Mrs. De Castro by @Michigoxx And, jenlisa version : Winning Back Mrs. Manoban by @Hakuna1122