32. Revan pulang

6.5K 908 108
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


...

Haechan duduk di salah satu deretan bangku di depan IGD. Tangannya dingin, kakinya lecet karena hak tingginya, lalu belahan rok kebayanya yang kini sobek hingga seperempat pahanya.

Dia lari ngikutin Mark ngebawa Revan sampe IGD. Revan langsung dibawa ke RS Kariadi. Bayangin aja itu seberapa ngebutnya Mark otw dari Salatiga-Semarang.

Dilepas high heelsnya lalu ditaruh di dekat kakinya. Tangannya gemetar antara kedinginan dan gelisah sambil memegangi jas dan dasi kupu-kupu milik Revan di pangkuannya, berharap anak itu kini berlari menghampirinya dengan cengirannya.

Pandangannya terus tertuju kearah pintu IGD yang tak kunjung terbuka, menanti kabar baik tentang Revan-nya.

Hingga tak lama kemudian pintu terbuka. Mark keluar lebih dulu. Membiarkan Dokter spesialis menangani Revan di dalam sana.

Dia berlutut di depan Haechan. Lalu direngkuhnya tubuh Haechan dengan erat. "Nggak papa. Revan udah oke. Kamu yang tenang. Kamu tau kalo dia kuat, kan?"

Haechan mengangguk. Setelah dia tahan dari tadi, akhirnya dia nangis juga tepat ketika Mark mengusap punggungnya dengan lembut.

"Dia baik-baik aja tadi, Yang. Dan aku ngebiarin dia main bareng yang lainnya pas aku lagi siap-siap. Harusnya aku nggak ngebiarin dia gitu aja." Lirih Haechan ditengah isakannya.

"Jangan salahin diri sendiri. Jangan buat perjuangan Revan nahan sakitnya tadi sia-sia. Dia bertindak kaya gitu karena dia nggak mau buat Mamanya ini sedih di hari bahagianya." Ucap Mark. Kedua tangannya terulur untuk mengusap air mata Haechan dengan ibujarinya setelah melepas pelukannya.

"Kenapa dia bisa pinter banget gitu...." rengek Haechan. Dia masih nggak habis pikir dengan tindakan Revan beberapa waktu yang lalu.

"Kan Papanya pinter, Yang. Mamanya ini juga pinter banget udah ngerawat dia dengan baik. Masa anaknya nggak boleh ikutan pinter." Sahutnya sambil mengenggam jemari Haechan.

Haechan terdiam mencerna seluruh ucapan Mark yang menyebut Revan sebagai anaknya. Apakah Mark juga sepemikiran dengannya tentang ingin mengadopsi Revan?

"Yang?"

"Hhm? Kenapa?" Mark menatap Haechan dengan seksama.

"Tapi kamu jangan marah ya?" Haechan tampak ragu. Tapi dia bener-bener ingin mengatakannya.

"Tergantung apa yang mau kamu omongin." Sahut Mark sambil mengedikkan bahunya.

"Ya...yaudah nggak jadi."

"Apa? Bilang aja."

"Kalo aku........

.....mau kita ngadopsi Revan, kamu setuju nggak?" Tanyanya pada akhirnya setelah sekian hari dia mengumpulkan keberaniannya.

Bukan 2 Garis Biru ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang