***
Meyra sedang bergelayut manja di lengan kekasihnya yang sedang menyetir mobil, ia tersenyum saat sesekali pria itu mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya. Rasanya bahagia sekali bisa berduaan seperti ini, bahkan jika orang awam yang melihat maka takkan tahu jika sebenarnya mereka sedang dirundung masalah yang membuat mereka sangat terbelenggu.
Mereka juga sama-sama menyanyikan lagu yang diputar dari speaker mobil yang tersambung Bluetooth pada handphone Ali, lagu kesukaan mereka sejak awal menjalin kasih.
'Ting'
Untuk kesekian kalinya handphone Ali berbunyi pertanda ada notifikasi dari pesan yang masuk. Tanpa meminta persetujuan dari sang pemilik, Meyra langsung meraih benda persegi warna hitam itu. "Siapa sih?" Detik berikutnya setelah mengucapkan pertanyaan itu, ia langsung terdiam membaca nama dari kontak yang sejak tadi mengirim Ali pesan melalui salah satu aplikasi pesan singkat. 'Prillia Abraham'
Dengan segera ia bangkit dari senderannya dan menatap lekat Ali yang tengah membagi fokus antara jalanan dan dirinya. Hanya diam ketika pria itu menanyakan siapa yang mengirim pesan sejak tadi. Berusaha kuat, ia membuka suara. "Sejak kapan kamu punya kontak Prillia?"
Ali menghentikan laju kendaraan saat lampu lalu lintas berwarna merah, melepas setir mobil dan tangannya beralih menggenggam tangan Meyra. "Baru beberapa minggu lalu, aku yang minta ke Axel dengan maksud mencoba bicara baik-baik sama Prillia supaya dia merubah permintaannya"
"Terus hasilnya?"
Ali menggeleng dengan helaan nafas berat. "Tetap sama, dia tetap pada pendiriannya"
Kini giliran Meyra yang menghela nafas berat lalu mengalihkan pandangannya pada sebelah kiri sisinya yang membuatnya menjadikan deretan mobil yang ikut berhenti di sebelah kendaraan mereka sebagai objek pandangan. "Aku bilang juga apa, Prillia enggak mungkin dengan mudah mengubah keinginannya apalagi melupakan. Dia orang terkeras kepala yang pernah aku kenal"
Sebelah tangan Ali menyusul menggenggam, membuat sebelah tangan Meyra berada dalam kedua genggaman tangannya. "Aku hanya berusaha Mey, aku enggak mau mimpi kita hancur gitu aja"
Dalam diam dengan pandangan yang masih dialihkan, setetes air matanya jatuh. Meyra juga tak ingin impian yang telah mereka bangung sejak awal menjalin kasih harus pupus karena permintaan sang kaka, namun di satu sisi ia juga tak bisa berbahagia di atas penderitaan yang terus dirasakan Prillia.
Menghirup nafas dalam dan menetralkan degup jantungnya, ia beralih menatap Ali dan balas menggenggam tangan pria itu setelah kembali meletakan gawai di atas dashboard. "Kalau aku minta kamu buat kabulin permintaannya Prillia gimana?"
Lipatan kulit di kening Ali mengeras, pertanda pria itu tak suka dengan apa yang baru saja diucapkan kekasihnya. "Ngomong apa kamu Mey? Kamu mau hancurin impian kita demi kebahagian Prillia?" Dengan terpaksa Ali melepas genggaman tangannya dan kembali melanjutkan laju mobil setelah warna hijau tertera pada lampu lalu lintas.
Mereka sama-sama berkecamuk dengan perasaan masing-masing yang hampir serupa dimana Ali merasa frustasi dan kesal atas pemikiran kekasihnya yang mengusulkan dirinya agar menikah dengan Prillia. Sedangkan Meyra pun merasa frustasi sekaligus berat karena harus mengatakan idenya pada sang kekasih, ia tahu ini bodoh dan tentu takkan mendapat persetujuan dari pihak manapun tapi hanya ini yang bisa ia lakukan sekarang untuk membantu keadaan Prillia, kakanya sendiri.
***
Dengan tak sabaran Prillia menarik laci meja dan mengeram emosi ketika melihat isinya, mengatur gerakannya dengan cepat ia meraih semua barang yang berada dalam laci itu lantas beranjak keluar menuju kamarnya. Setelah menyimpan semua barang itu, ia kemudian meraih tas jinjingnya dan kembali melangkah keluar kamar. Dalam hatinya mengumpati orang yang menjadi tujuannya kini, dia harus membuat perhitungan dengan anak kemarin sore itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
Любовные романыMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.