[Amor no Altar • 31]

1.6K 151 9
                                    

***

Kedamaian sore hari menyelimuti bangunan megah rumah Octavian Abraham. Sejak kelahiran cucu keduanya hari-hari lelaki itu semakin berwarna oleh tangisan Nio dan tingkah lucu Aleeza. Vanya juga semakin rajin membuatkan berbagai makanan untuk mengisi kebersamaan mereka.

Seperti sore ini, sepasang ibu dan anak itu tengah sibuk menyiapkan puding caramel yang akan dihidangkan nanti malam sebagai menu dessert.

"Ax sangat suka puding caramel, biasanya dalam seminggu dia akan makan empat kali" Prillia bercerita tentang kebiasaan sang kakak selama mereka menetap terpisah dengan keluarga, juga sebagai sebuah tindakan kecil untuk Vanya bisa ikut merasakan momen itu meski hanya lewat cerita.

"Oh ya? Daddy juga suka sekali dan sering minta dibuatkan" Vanya membersihkan daun jeruk empat lembar yang akan digunakan sebagai hiasan di atas puding, "tapi tidak mommy buatkan. Tidak baik jika sering mengonsumsi yang manis-manis apalagi daddy sudah lanjut usia"

Prillia mangut-mangut pertanda setuju, sepertinya ia juga harus mulai melarang Axel yang rutin mengonsumsi makanan penutup kesukaan itu demi kebaikan lelaki itu juga.

"Prill, bagaimana kemarin setelah bertemu dengan Ali?"

Deg.

Meski Vanya bertanya dengan nada suara begitu santai namun mampu membuat Prillia kembali diam untuk sesaat. Ia hanya merasa tidak ennak jika harus membahas perihal lelaki itu bersama keluarganya.

"Baik, mom"

"Dia sudah mengatakan keinginannya?"

"Keinginan?"

"Ya, keinginan untuk kalian menikah"

Bagaimana Vanya bisa tahu perihal itu? Apa keluarganya dan Ali pernah membahas perihal ini sebelumnya? Sedalam itukah semua yang terjadi setelah kepergiannya tempo hari?

"Sewaktu membatalkan pernikahan dengan Meyra, Ali yang mengatakan sendiri kalau dia akan mencarimu dan ingin menikah denganmu. Jadi mommy kira dia sudah mengatakan hal itu padamu mengingat sudah enam tahun dia mencarimu" lanjut Vanya saat melihat putrinya hanya diam membisu, wanita ini seakan tahu bahwa dibalik keterdiaman Prillia pastilah memikirkan sesuatu yang rumit.

"Apa Meyra baik-baik saja?"

Vanya tersenyum bersamaan dengan hidangan puding yang telah siap di dalam piring, ia lalu mencuci tangannya di air kerang wastafel. "Dia selalu berusaha untuk baik-baik saja. Daddy dan Mommy kembali melakukan sebuah kesalahan yang sama dengan mengabaikan Meyra, hingga puncaknya obrolan kami sore itu membuat Meyra dengan sengaja mencelakai dirinya dengan menjatuhkan diri dari atas tangga"

Prillia terdiam. Jika Meyra sampai melakukan hal seperti itu, berarti selama ini adiknya itu sudah merasa sangat tertekan dan sedih akan semua ini. Dia kira hanya dirinya saja yang selama ini berjuang untuk kembali pulih namun ternyata Meyra juga melakukan hal yang sama. Prillia sadar, tentu bukanlah hal yang sepele bagi Meyra untuk menerima semua ini. Dia sangat tahu bahwa adiknya itu sangat mencintai Ali dan pembatalan pernikahan itu pastilah merupakan patah hati terdahsyat bagi Meyra.

"Keputusan pembatalan pernikahan itu pastilah keinginan Ali" tebak Prillia pada Vanya dan mendapatkan senyuman tipis dari wanita itu.

"Mommy tahu akan hal itu, karena jika itu juga keinginan Mey maka dia tidak mungkin terus berusaha dekat dengan Ali setelah itu"

Jadi selain rasa diabaikan yang Meyra terima dari orang-orang sekitar ternyata keputusan pembatalan pernikahan itu bukanlah kehendak Meyra, melainkan Ali. Prillia termenung, andai ia masih bersikap seperti dulu mungkin ini merupakan kesempatan emas untuknya bisa mendapatkan Ali. Namun sejak kelahiran Aleeza, dirinya sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan pada sikap dan pola pikir yang mana menurutnya ini bukanlah sebuah kesempatan emas melainkan dilemma besar.

AMOR NO ALTAR [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang