[Amor no Altar • 12]

1.1K 106 0
                                    

***

Kesunyian menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih-biru itu, tetesan air infus yang jatuh tiap persekian detik itu bagaikan hal yang menarik pandangan Vanya untuk terus memperhatikan cairan penolong itu.

Perempuan yang usianya hampir memasuki kepala lima itu tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, bahkan kehadiran kedua putrinya di sampingnya pun dianggapnya bagai tiada siapa-siapa. Meski sama sekali tak memberikan reaksi berlebihan namun di dalam lubuk hatinya, Vanya tetaplah seorang perempuan biasa yang bisa merasakan kerapuhan saat melihat sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya terbaring lemah di ranjang pasien sana.

"Kalian pulang dulu, istirahat. Nanti malam baru balik ke sini" Vanya membuka suara, rasa kasihan dan sedih kembali menyeruak ke permukaan hatinya saat mendapati wajah lelah kedua putrinya. Ia tahu, meski Prillia tetap mempertahankan ekspresi datar namun putri sambungnya itu pasti merasa lelah karena sedang membawa satu nyawa lagi dalam perut, ia juga pernah berada di posisi itu.

"Mommy sendiri di sini?"

Vanya menjawab pertanyaan Meyra dengan anggukan dan senyum manis.

Setelah mereka berpamitan, Vanya berjalan mendekat ke ranjang pasien suaminya. Meneteskan air mata ketika wajah pucat Octavian terlelap dengan tanpa terganggu sedikit pun. Suaminya itu pasti lelah dengan berbagai masalah yang menimpa keluarga mereka sehingga jantung lelaki itu kembali melemah setelah hampir lima bulan baik-baik saja.

Keluar dari gedung rumah sakit, Meyra menyeritkan dahi saat kakaknya mengambil rute jalan yang berbeda dengannya. Menghela sedikit nafas, ia melangkah lebar mengikuti langkah Prillia. "Prill ..." kelima jarinya menggenggam pergelangan tangan Prillia, "kok kamu nyebrang? Kan kita tinggal naik taksi" letak rumah sakit yang searah dengan kediaman keluarga membuat Meyra menatap bingung kakaknya, harusnya perempuan itu tidak sudah repot-repot menyebrang.

Prillia menepis kasar tangan Meyra yang menjadi alasan ia menghentikan langkah, tatapan datarnya berubah menjadi raut kesal. "Lalu kenapa? Kamu saja yang naik taksi pulang"

"Kamu mau ke mana?"

"Bukan urusanmu"

Meyra tersentak kaget saat tangan kanan kakaknya itu mendorongnya dengan sedikit tenaga, jika begini maka ia takkan bertanya lagi. Meyra mengatur langkah mundur, menghentikan taksi lantas beranjak masuk meski dalam hatinya berbagai pertanyaan muncul tentang akan ke mana kakaknya itu?

***

Pukul empat sore Meyra terbangun dari tidurnya, aktivitas hari ini cukup membuatnya lelah sampai ia harus melewatkan makan siangnya karena terlalu lelap tertidur. Menyadari hal itu akan memberikan efek buruk bagi kesehatannya maka ia segera bangkit dari rebahannya dan langsung beranjak ke kamar mandi. Hampir setengah jam ia keluar dari kamarnya dengan dandanan yang sudah siap untuk bepergian, ya rencananya setelah selesai makan maka Ali akan datang menjemputnya menuju rumah sakit untuk menggantikan sang ibu menjagai ayahnya.

Sampai di ruang makan, ia dibuat bingung karena tak menemukan hidangan apapun di atas meja persegi  besar itu padahal sebelum mengenakan pakaian ia sudah berpesan pada assistant rumah tangga untuk menyiapkan makan. Helaan nafas sedikit kasar keluar dari mulutnya sebelum ia melangkah menuju dapur, Meyra lebih memilih menghemat tenaganya daripada berteriak memanggil assistant.

"Prill?" Meyra tertegun melihat Prillia sudah bersender di pintu kulkas sembari memakan buah apel. "Cepat sekali kamu pulang? Lihat Ora tidak? Kok dia tidak menyiapkan makanan ya?" Kesabarannya mulai diuji saat sederet pertanyannya tak kunjung mendapat jawaban, kakaknya itu bahkan masih santai mengunyah gigitan apel berikutnya. "Prill ..."

AMOR NO ALTAR [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang