[Amor no Altar • 2]

1.5K 125 2
                                    

***

Meyra terus berlari mengabaikan beberapa kendaraan umum yang melintas di depannya yang bisa mengantarkannya dengan cepat pulang ke rumah, ia ingin tangisnya membaur bersama kebisingan kendaraan agar dirinya tak merasa sendirian di tengah kesedihan, setidaknya ia masih bisa melihat kekesalan yang timbul dari pengendara yang jalannya diambil oleh pengendara lain, melihat kekesalan pengendara motor yang kehabisan bahan bakar atau ban motornya bocor, itu semua bisa sedikit menghiburnya di tengah kesedihan.

"Mey" seorang pria turun dari mobil yang baru saja berhenti, berlari kecil menghampiri Meyra yang berdiri dengan tatapan penuh kesedihan. "Are you okay hm? Why are you here?"
Tak menjawab dengan kata namun dengan cepat Meyra memeluk pria yang amat dicintainya itu, pria yang selalu mengerti dan memberi rasa nyaman padanya, Ali. "Aku takut, aku bingung, aku merasa bersalah, aku ―"

"Stop it Mey, we told you it's not your fault" Ali sedikit melonggarkan pelukan keduanya, menghapus air-mata yang membasahi pipi gadisnya, "kamu sudah berusaha sebisa kamu sebagai adik untuk menolong kaka kamu, tapi bukan dengan mengorbankan perasaan kita" Ali mencoba untuk jujur, pikirannya sudah sangat kontra dengan gadisnya ini sejak di rumah sakit tadi, namun karena dia yang tak mau memperkeruh suasana maka ia memilih untuk mengungkapkan semuanya sekarang, di saat hanya ada mereka berdua.

"Aku enggak akan bisa bahagia kalau kakakku menderita di hari pernikahanku"

"Lalu bagaimana denganku? Kamu enggak mikirin perasaanku yang harus menikah dengan orang yang sama sekali enggak aku cintai?"

"Prillia butuh sosok ayah buat anaknya Li" lirih Meyra membayangkan bagaimana nasib keponakannya nanti ketika lahir dan tak ada sosok pria yang mengaku sebagai ayah anak itu, juga bagaimana nanti Prillia harus menjawab pertanyaan anaknya tentang keberadaan sang ayah?

"Sayang dengarin aku, aku punya jalan keluarnya" Ali tersenyum ketika Meyra menatapnya menuntut jawaban. "Nanti ketika anak Prillia lahir, kita yang asuh anaknya, kita yang jadi orang tua buat anaknya sedangkan Prillia bisa memulai kehidupan barunya" kedua tangannya masih setia menangkup wajah basah kekasihnya, menanti reaksi dari gadis itu dan senyumnya terbit kala dilihatnya gadis bermata hitam pekat itu mengangguk kecil. "Kita bicarain ini sama semuanya yah" kembali membawa Meyra ke dalam pelukannya, Ali berharap usulnya adalah jalan keluar yang terbaik untuk mereka.

***

"Aku enggak mau" jawab Prillia tegas setelah mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Meyra yang didampingi oleh Ali di sampingnya, lalu ia menatap sekeliling dimana kedua orang tuanya menghela nafas berat mendengar jawabannya. "Aku enggak mau tawar menawar Mey, yang aku mau aku yang menikah dengan Ali" ucapnya setelah tatapannya kembali tertuju pada Meyra yang kali ini menunduk.

"Daddy setuju dengan usul Ali dan Meyra, karena mereka yang akan menikah maka biarkan anak kamu diasuh oleh mereka sedangkan kamu bisa melanjutkan kuliahmu Prill" Octavian ikut memberikan pendapatnya, ia berhadap ini adalah jalan keluar untuk masalah putrinya yang sudah menjadi boomerang sejak awal kehamilan.

"Itu daddy yang setuju bukan aku" namun pada kenyataannya Prillia tetaplah Prillia, gadis berkepala batu yang sangat keras. "Lagipula kamu kemarin sudah menjawab oke, kenapa sekarang berubah?" Ia menghardik Meyra dengan mempertanyakan kesediaan gadis itu yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah bujukan yang jelas ditolak olehnya. "Aku mau besarin anakku dengan Ali, Mey"

Tak sanggup terus menerus dicerca oleh Prillia, Meyra memilih pergi dari ruangan itu yang segera disusul oleh Ali. Melihat itu Octavian pun ikut ke luar bersama istrinya.

"Kamu enggak kasihan apa sama Meyra?" Axel mendekat, ia merasa lebih leluasa berbicara pada Prillia ketika mereka hanya berdua. "Dia dilemma banget tuh"

AMOR NO ALTAR [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang