***
Sepanjang perjalan menuju rumah yang sekarang mereka tempati air mata selalu setia mengiringi langkah lemah Prillia. Ia bahkan sama sekali tak terlihat kesal pada sepeda motor yang hampir menabraknya. Ia juga tak tahu mengapa rasanya sakit seperti ini, ia kira dengan apa yang telah ia lakukan bisa membuatnya menjadi pemenang atas diri lelaki itu. Ia kira bahagia akan memenuhi hari-harinya dan Aleeza setelah malam itu. Namun ternyata semua perkiraannya itu salah, Ali tetap mencintai Meyra sebesar apapun kesalahan adiknya itu. Ali akan tetap memilih untuk hidup bersama cintanya.
Masuk ke dalam rumah Prillia langsung menuju kamar putrinya, menatap sedih Aleeza yang tertidur nyenyak tanpa terganggu oleh apapun. "Mungkin, Ali mengangap kamu hanya sebuah kesalahan dan ketidaksengajaan, tapi buat mama kamu adalah anugerah. Jangan khawatir sayang, tidak akan ada yang bisa merebut bahagia kita"
Menjauhkan dirinya dari sang putri yang sedang berada dalam Inkubator, Prillia bergegas ke kamarnya. Mengambil koper yang terletak di samping almari lantas memasukan barang-barangnya dan Aleeza.
"Prill what are you doing?" Axel yang baru saja terbangun dari tidurnya dibuat heran oleh apa yang sedang dilakukan Prillia. "Kamu mau pergi?"
"Bukan" Prillia menatap Axel. "Bukan aku, tapi kita. Aku, Aleeza dan kamu Ax. Aku kalah, aku kalah dari apa yang aku perjuangkan selama ini"
Axel terdiam. Mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Prillia, tanpa mengucapkan satu kalimat pun ia hanya mengangguk lantas melakukan hal yang sama. Mengemasi barang-barangnya ke dalam koper dan tak lupa untuk mengabari Daren tentang kepindahan mereka ini.
Prillia memilih pergi bersama Axel dengan membawa Aleeza. Ia memilih untuk mencari ketenangan dan melupakan semua masalah dengan pergi jauh. Anggap lah ia lari dari masalah tanpa mau menyelesaikan, katakan lah ia pangecut namun ini adalah pilihan yang menurutnya terbaik. Walau sebenarnya hati menginginkan untuk tetap bertahan namun ego dan pikirannya menolak keras untuk kembali bertemu dengan keluarga serta lelaki yang mempora-porandakan hidupnya.
"Prill, mobil sudah siap. Aku akan memasukan Aleeza setelah barang-barang kalian"
Mendengar suara Daren di belakangnya Prillia berbalik, dengan mata berkaca-kaca ia menghampiri dan segera memeluk tubuh tegap lelaki itu. "Daren, thank you so much for everything. You help us a lot"
Daren membalas pelukan Prillia dengan senyum dan perasaan haru. "You don't need to say that. Kalian bukan lagi sahabat, tapi keluargaku sekarang. Jaga diri baik-baik, terus kasih aku kabar kalian."
Hampir satu jam kemudian rumah ini benar-benar kosong oleh barang-barang serta penghuninya. Rumah yang awalnya adalah kediaman keluarga Abraham sewaktu Felicya Pricillia ― ibu dari Axel dan Prillia masih hidup, yang diketahui Octavian rumah ini sudah terjual setelah sebulan meninggalnya sang istri pertama dan kepindahannya beserta anak-anak ke rumah megah yang sekarang. Namun pada faktanya rumah itu tak pernah terjual. Rui ― kakak Felicya hanya memberikan sejumlah uang pada Octavian sebagai hasil dari penjualan rumah.
Setelah dewasa Axel dan Prillia beberapa kali mengajak teman-teman mereka untuk mengadakan pesta di sana. Rumah itu juga menjadi saksi bisu bagaimana Daren dan Axel berusaha menahan gejolak rasa sakit yang timbul dari dalam diri mereka sewaktu melakukan rehabilitasi mandiri.
Dan sekarang, Prillia merasa rumah itu bukan lagi tempat yang aman bagi mereka untuk menghindar dari keluarga. Dalam perjalan mereka menuju bandara, ia kembali menitikan air mata. Merasa menyesal kenapa harus pergi dengan cara seperti ini.
***
Di atas jembatan, di jalan yang kini jarang dilalui oleh kendaraan, Ali berdiri memandang lurus ke arah depan. Hanya suara dersik yang menemani dirinya dalam kesunyian menatapi sandyakala di kaki langit sana. Tidak, ia takkan hanya sampai di titik ini. Bayangan tentang bagaimana perjuangan Prillia dulu mampu menepiskan setumpuk rasa gundah gulana di hatinya. Ia begitu yakin dan akan mewujudkan karsanya untuk memiliki kedua orang itu, Prillia dan anak mereka. Ali juga yakin bahwa sang waktu akan menolongnya untuk mencintai perempuan itu sebab waktu tidak akan berkhianat pada mereka yang menjadikannya teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
RomanceMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.