***
Prillia menatap bahagia putrinya yang tertidur lelap dalam Inkubator, salah satu kamar kecil di rumah ini ia penuhi dengan alat-alat yang dibutuhkan Aleeza. Ia ingin bayi cantiknya tumbuh dengan sehat dan tangguh sepertinya.
Wajah kecil Aleeza menjadi pusat fokus mata dan pikirannya, dengan bisa sampai pada detik sekarang ini ia telah melalui banyak hal. Prillia pernah merasakan hari esok seakan tiada lagi saat pagi itu bangun dengan keadaan berantakan, menerima cibiran dari mulut tiap orang yang menjumpainya, berjuang untuk ayah dari anaknya yang jelas menolaknya.
Prillia tahu adalah salahnya juga kenapa tidak berkata sejak awal bahwa ayah dari anaknya adalah Ali. Namun apakah itu bisa dipercaya dan diterima oleh semua orang? Tentu tidak. Apalagi kondisi sang kakak membuatnya memilih untuk memainkan peran ganda sebagai pribadi yang mendapat gangguan kejiwaan. Keputusannya itu bukanlah tanpa sebab, meski menetap di negara maju namun mulut para tetangga dan orang-orang yang suka mencibir tak bisa dielakkan. Untuk itu Prillia memilih agar hanya dirinya lah yang dipandang buruk di mata orang, tidak usah Axel.
"Prill"
Ia menoleh, mendapati dua orang pria berdiri menatapnya dengan senyum. Tak mengurung niat ia langsung berlari dan memeluk erat salah satunya yang mana pelukannya itu mendapat balasan yang sama eratnya.
"Kok kamu bisa cepat keluar Ax dari rumah sakit jiwa?"
"Kata dokter Vincent selama beberapa hari terakhir ini keadaanku perkembang pesat, aku dinyatakan sudah lebih baik dari pertama kali bertemu dengannya"
Prillia tersenyum lalu kembali memeluk kakaknya itu dengan erat sampai deheman dari Daren membuatnya melepas pelukan dengan paksa.
Daren lalu meletakan beberapa bungkus cemilan di dalam kantong belanja yang ia bawa ke atas meja, pria ini lantas menjatuhkan bokongnya pada sofa yang berada tepat di depan kamar Aleeza.
"Tumben malam ini enggak masuk?" Tanya Prillia kemudian menyusul duduk bersama Axel di depan Daren.
Melihat Axel membuka salah satu bungkus cemilan, Daren pun ikut mengambil salah satu minuman kaleng dan segera diteguknya setelah dibuka. "Ini kan weekend sis, gue shift malam kalau weekday doang" lalu ia menatap Prillia yang tengah memilih-milih buah. "Anakmu sudah tidur?"
Prillia mengangguk lalu bangkit setelah memegang salah satu buah di tangannya. "Paling nanti subuh bangung, biasa begitu Aleeza"
"By the way, Ali sama Meyra lagi berantem"
"Kenapa? Tumben banget mereka" Axel memasukan satu persatu cemilan ke dalam mulutnya sambil mengangkat dagunya menyuruh Daren segera menjawab.
"Aku tidak tahu pasti, yang jelas waktu itu aku berpapasan dengan Ali sewaktu mau menjenguk Meyra bersama Michella, wajahnya terlihat sangat emosi. Lalu Chella memberitahuku bahwa apa yang dilakukan Meyra benar-benar membuat Ali kecewa. Kamu kan tahu Meyra kalau ada apa-apa selalu curhat ke Chella"
Prillia mengedikan bahu lantas berjalan menuju dapur untuk mencuci buah yang akan segera dimakannya. Tak lama kemudian Axel datang menyusulnya. "Apa Ali sudah tahu?"
"Kalau ya kenapa? Kamu mau memperjuangkan dia lagi?"
Ibu dari bayi Aleeza itu berbalik lantas mengangguk dengan cepat. "Tidak ada salahnya kan, kalau dia sudah tahu itu lebih baik. Tapi kalau dia tetap tidak mau maka aku akan paksa dia"
Axel menghela nafas, kedua tangannya memegang bahu Prillia. "Prill, aku tidak melarangmu untuk berjuang lagi. Tapi hal yang namanya paksaan itu tidak baik, kita cuma boleh menikah sekali seumur hidup dan apa kamu mau ke depannya Aleeza sakit hati karena mendapat kasih sayang yang tidak seimbang dari kamu dan Ali?" Lalu ia melanjutkan. "Aku tidak mau kehidupan pernikahanmu nanti tidak sehat karena Ali yang menikah dengan keterpaksaan, biarkan dia menikah dengan orang yang dia sayangi. Masih ada aku yang akan selalu ada untuk kamu dan Aleeza"
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
Roman d'amourMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.