***
Gerakan Prillia memasukan helai demi helai pakaian ke dalam koper menjadi begitu pelan, terhambat oleh hal yang kini begitu ramai di pikirannya. Sebenarnya ia sangat bahagia menuruti permintaan ayahnya untuk kembali menetap bersama di rumah keluarga mereka. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya sejak hari itu.
Ini tentang lelaki itu. Kembalinya mereka untuk tinggal bersama adalah sebuah peluang besar untuknya bertemu dengan Ali. Ya lelaki itu telah menikah dengan Meyra maka tidak menutup kemungkinan kalau intensitas mereka bertemu akan semakin sering. Prillia merasa bingung harus bersikap seperti apa nanti ketika bertemu dan kalimat pas seperti apa yang akan ia berikan kepada putrinya sebagai sebuah jawaban yang bagus.
'Drt drt drt'
Dengan setengah sadar Prillia merogoh telepon genggam yang ada pada saku blazer-nya, melihat ada nama sang kakak sebagai pemanggil ia segera menggeser gambar hijau pada layar.
"Hallo Ax"
"Hallo Prill? Apa kau masih di rumah lama?"
"Ya aku masih di sini"
"Oke, tinggalkan dulu semua barang-barangnya dan segera datang ke rumah sakit Altera. Norá sedang melahirkan, Aleeza juga terus menangis. Cepatlah dia hanya bisa diam jika sudah kau gengdong"
"Oke Ax, aku ke sana sekarang"
***
Setibanya di area rumah sakit, dengan tergesa Prillia berlari menuju ruang persalinan dimana proses lahiran itu sedang berjalan. Tak hanya ingin tahu perihal keadaan Norá dan sang calon bayi namun tangisan Aleeza saat melihat Norá yang kesakitan juga menjadi kekhawatirannya. Ia harus segera sampai agar bisa menenangkan putrinya itu.
'Brak'
"Aduh"
"Shit"
Mendengar umpatan itu ia merasa was-was, pasti orang yang ditabraknya ini adalah pribadi yang emosian dan tidak akan mau mengalah jika berdebat. Prillia menghela nafas berat, baiklah ia tak ada waktu untuk itu ia telah menyiapkan kata maaf agar memperpendek masalah.
Tepat ia mengangkat pandang serasa waktu berhenti untuk sesaat kala iris hazel-nya beradu tatap dengan sepasang kornea hitam yang sudah tak ia potret wajahnya selama ini. Jantungnya berdegup dengan kencang saat sosok itu menyebut namanya dengan pelan. Sekarang kah waktunya untuk mereka kembali bertemu?
"Ali" nama itu terucap dari bibir Prillia dengan pelan disertai detak jantung yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia bag patung yang tak tahu harus berbuat apa bahkan ketika pemilik nama itu langsung memeluknya dengan erat, ia masih tetap diam. Prillia tahu ia akan kembali bertemu dengan Ali namun ia belum membayangkan ataupun mempersiapkan ekspresi seperti apa yang harus ia tunjukkan.
Sementara Ali tak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang membuncah di dadanya kala kembali bertemu dengan sosok yang memegang kendali atas perasaannya. Tatapan aneh dari beberapa orang yang melewati mereka sama sekali bukan alasan untuk menimbulkan rasa risih dalam diri lelaki itu.
"Prill, aku bahagia. Maafkan aku" kalimat ini terucap dalam dekapan erat Ali pada perempuan pengendali perasaannya dengan mata tertutup rapat sebagai salah satu ungkapan bahwa ia begitu tulus mengungkapkan rasa hatinya.
Prillia tak tahu harus menjawab seperti apa karena tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar dari Ali. Untuk apa lelaki itu mengatakan bahagia padanya lalu meminta maaf? Tersadar akan sesuatu Prillia melerai pelukan Ali dengan mendorong dada lelaki itu ke belakang, apa jadinya jika orang terdekat melihat ia berpelukan dengan suami adiknya sendiri? Dia dan keluarganya baru saja berdamai, untuk itu Prillia tak mau timbul sebuah masalah baru meski yang memulai bukanlah dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
RomansaMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.