***
Tujuh bulan sudah usia kandungannya, Prillia berdiri di depan cermin seraya mengelus perut buncitnya yang tertutupi oleh gaun bermotif bunga kuning yang dikenakannya sore ini. Meraih sebuah tote bag warna coklat muda yang lumayan besar yang dilipatnya menjadi segi empat lantas meraih dompet warna birunya, ia menuruni anak tangga dengan pelan. Sampai di ruang tengah ia mengabaikan ibunya yang tengah berbincang dengan teman-teman sesama sosialita wanita itu.
"Dasar katro, udah tinggal di Europa tapi masih aja suka gibahin orang" ucapnya dengan suara yang sengaja dibuat keras ketika melewati para ibu-ibu yang juga memiliki negara asal yang sama, hal itu ia lakukan lantaran melihat tingkah mereka yang meliriknya kemudian saling berbisik. Ia sama sekali tak mempedulikan bagaimana Vanya harus meminta maaf pada ibu-ibu itu karena ucapannya tadi.
Ia memilih menggunakan taxi menuju tempat tujuannya, super market.
***
Matanya menelisik satu persatu deretan kotak susu yang berjejer di rak sebelah kirinya, ketika menemukan susu yang biasa dikonsumsinya sejak awal kehamilan senyumnya langsung terbit dan meraih dua kotak susu, menaruhnya ke dalam troli ia berpindah lorong ke bagian buah-buahan. Dengan senyum ia memasukan beberapa buah jambu biji yang sudah dipilahnya ke dalam kertas, ketika hendak berbalik untuk menghitung kilo buah tak sengaja ia bertabrakan dengan seseorang yang membuatnya sedikit meringis.
"I'm sorry, I didn't mean"
Mendengar suara itu dengan cepat dia mengangkat pandangan, senyumnya merekah mengetahui orang yang menabraknya barusan adalah Ali.
"Prillia, sama siapa?" Ali menengok ke kiri dan kanan bermaksud mencari sosok yang dikenalnya datang dengan Prillia sekaligus sebagai pengalihan karena tak mau lama-lama bertatapan dengan perempuan itu.
"Sendiri, kamu juga sendiri kan?"
Ali memberikan lirikan lantas mengangguk.
"Itu tandanya kita memang ditakdirkan untuk bersama" Prillia tersenyum manis.
Ali tertawa mengejek lalu menggeleng kecil. "Kamu kenapa sih mau merebut kebahagiaan saudara sendiri?" Ia sedikit membungkuk karena tinggi perempuan itu yang hanya sampai di dadanya.
Prillia menggeleng. "Aku enggak ngerebut, hanya barter"
Meneggakan tubuhnya Ali kembali menggeleng. "Kamu kira aku barang? Dengar Prillia, aku turut prihatin pada nasibmu tapi aku sangat mencintai Meyra dan hanya ingin menikah dengannya"
Prillia memberikan reaksi yang membuat dahi Ali berkerut bingung, perempuan itu tertawa kecil. "Aku juga prihatin pada nasibmu" lantas ia mendorong trolinya menjauh.
Ali benar-benar tidak mengerti dengan sikap perempuan itu, ketika berbicara tadi Prillia terlihat sangat manis apalagi wajah yang terlihat bersih dan berisi membuat kecantikan perempuan yang kerap disapa Prillia itu bertambah, tapi jika mengingat kembali segala kejadian dan cerita dimana Prillia nekat melukai diri sendiri karena tak mendapat dukungan untuk menikah dengannya, melukai Michella karena gadis itu melakukan penglabrakan rasanya sangat tak cocok dengan wajahnya yang imut menggemaskan itu. Tapi ... apa baru saja ia memuji perempuan lain?
.
.
.
Keluar dari super market, Ali masih dapat melihat Prillia yang berjalan pelan sambil mengusap perut buncit perempuan itu. Tak lama ada seorang pria yang datang menghampiri Prillia, ia menyipitkan matanya untuk memastikan pengelihatannya tidak salah dan benar saja, itu adalah Daren ‒ kekasih dari Michella. Apa pria itu sengaja bertemu Prillia untuk memarahi perempuan itu karena telah melukai Michella tempo hari?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
RomanceMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.