***
Sepasang mata hazel milik perempuan dua puluh sembilan tahun ini menatap dalam diam jarum jam yang berputar secara cepat di depannya. Dari situ ia menyadari bahwa waktu memang begitu cepat berlalu jika tak kita sadari. Sudah seminggu sejak kedatangannya dengan Ali ke kediaman keluarga lelaki itu untuk meminta izin dan restu yang pada kala itu mendapat sebuah jawaban yang menggantung dari ibu Ali. Kendati demikian, semua itu takkan menjadi alasan kuat untuknya merubah keputusan apapun yang telah ia ambil. Ia takkan mundur atau berbelok arah. Ia tetap akan maju dengan keputusan ini, itulah dia ― Pricillia Abraham.
Menyadari suatu hal, ia segera bangkit dari duduknya. Waktu kerjanya pada hari ini akan berakhir dalam tiga menit. Segera Prillia membereskan mejanya lantas beranjak berdiri. Setelah semuanya benar-benar rampung, ia berjalan menuju lobby untuk menunggu Ali menjemputnya. Namun lima menit ia berdiri, sosok yang dinanti tak kunjung datang. Tidak biasanya lelaki itu terlambat walau hanya beberapa menit, apa terjebak macet? Prillia mulai menerka.
Dari gerbang luas hotel sebuah taksi melaju dan berhenti tepat di depan lobby, Prillia pun sedikit mengabaikan keberadaan taksi tersebut karena pikirnya yang menjadi penumpang taksi itu adalah salah satu pengunjung hotel. Namun saat pintu penumpang bagian belakang terbuka, sosok yang berdiri di sana menepiskan semua pikirannya itu.
Prillia menuruni anak tangga kemudian berdiri di hadapan sosok itu. "Boa tarde tia" yah, yang berdiri di hadapannya ini adalah ibu dari Ali.
"Boa tarde Pricillia, pode vir comigo?"
Prillia terdiam untuk sesaat. Seminggu yang lalu wanita di hadapannya ini memberikan sebuah jawaban yang tidak pasti atas permintaan restunya dengan Ali, dan sekarang secara tiba-tiba wanita itu juga mengajaknya untuk pergi yang ia sendiri enggan menanyakan akan ke mana tujuan mereka. Tak mau membuat Carolina menunggu terlalu lama akhirnya Prillia mengangguk meski berbagai pertanyaan sudah bercabang di kepalanya.
***
Taksi yang mereka tumpangi berhenti di sebuah boutique yang nampaknya baru saja diresmikan beberapa hari ini terlihat dari karangan bunga yang masih berjejer di depan bangunan.
Prillia sadar ini juga bukan pertama kalinya ia bertandang ke tempat ini, ia pernah berada di sini bersama Ali sore itu sewaktu pulang kerja. Masih dengan berbagai tanda tanya Prillia ikut turun ketika mendapat ajakan dari Carolina lewat sorot mata. Dan dia tentu saja kaget saat melihat Ali yang sedang duduk sambil memainkan gawai.
Mengangkat pandang, Ali juga merasa kaget saat mendapati sosok Prillia berdiri di satu ruangan yang sama dengannya terlebih lagi ia meyakini bahwa Prillia datang bersama mamanya. "Prill" ia berdiri lalu menghampiri Prillia.
"Aku diminta ikut ke sini" untuk menjawab rasa bingung Ali, Prillia lebih dulu mengutarakan alasan kenapa dirinya bisa berada di tempat ini.
"Aku ju―"
"Ayo" ucapan Ali terpotong oleh kemunculan Dara yang mengajak mereka.
Ali dan Prillia melempar ekspresi bingung satu sama lain, mereka sama-sama tidak mengerti dengan maksud dari ajakan 'Ayo' tersebut.
"Dara what's going on?" Dengan sedikit berbisik Ali bertanya pada adiknya tentang situasi yang terasa membingungkan baginya dan Prillia. Tadi saat ingin menjemput wanita itu, secara tiba-tiba Dara menggagalkan niatnya itu dengan memohon agar mereka terlebih dahulu pergi menyelesaikan urusan Dara yang begitu penting dan mendadak. Lalu ia dibuat heran saat boutique milik Mrs. Mira yang menjadi tujuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
RomanceMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.