***
"Aaa ..."
Di luar ruangan, semua keluarga berkumpul dengan perasaan gundah, mereka mengkhawatirkan keadaan seorang perempuan di dalam sana yang sedang ditangani oleh tim medis, perempuan yang merupakan bagian dari keluarga mereka. Semuanya tampak menunduk namun sesekali masih melempar tatapan dengan sarat dukungan dari sorot mata masing-masing. Sudah hampir setengah jam namun tak ada satu pun tim medis yang keluar dari ruangan itu dan memberitahukan kabar pada mereka tentang keadaan pasien yang sedang ditangani. Hanya suara teriakan tadi yang menjadi jawaban dari kegelisahan mereka bahwa keadaan perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.
"Kenapa lama sekali?" Octavian, pria paruh baya ini bangkit dari duduknya dan menatap ke arah pintu yang belum juga dibuka dari dalam. Jika tak mengingat ini adalah rumah sakit dan segalanya beraturan maka ingin rasanya ia menerobos masuk ke dalam, memastikan bagaimana keadaan perempuan itu, putrinya.
"Sabar dad, dokter sedang berusaha" wanita yang sedari tadi duduk di samping lelaki itu bersuara, ia tak pernah lelah menenangkan suaminya sejak awal kedatangan mereka ke rumah sakit ini. Tangan kananya terangkat, menyentuh lengan suaminya lantas mengelusnya sebagai bentuk penenang darinya. Dia tahu, di saat seperti sekarang hanya tenang dan berdoa yang bisa mereka lakukan.
Sementara di sebrang mereka seorang gadis tengah menangis dalam pelukan kekasihnya, menumpahkan segala kesedihannya pada pelukan hangat yang selalu bisa memberikan ketenangan untuknya, menikmati elusan lembut yang selalu bisa menyalurkan kekuatan tak kasat mata padanya. "Ini semua salahku" lirihnya, tangan kananya meremas erat jacket hitam yang dikenakan oleh pria yang sedang memeluknya.
"Stop it Meyra! It's not your fault" lalu seorang pria yang duduk di samping gadis itu bersuara dengan nada tegas, bermaksud memperingati gadis itu untuk berhenti mengeluhkan hal yang sama, menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi.
Gadis yang dipanggil Meyra itu menghentikan tangisnya, nafasnya masih belum teratur sehingga membuatnya masih sedikit sesegukan. "It's my fault Axel, andai aku menyanggupi kemauannya pasti dia enggak akan senekat itu" ia menegakkan duduknya, menengok ke samping untuk melihat wajah pria yang dipanggil Axel itu secara jelas.
"But―"
'Klek'
Bunyi pintu yang terbuka itu menghentikan kalimat Axel juga mengalihkan perhatian semuanya, mereka bangkit dari duduk dan langsung mengerumuni dokter yang baru saja melepas alat pemeriksa detak jantung dari telinganya.
"Bagaimana keadaannya Hendra?" Octavian sudah tak sabar untuk mengajukan pertanyaan ini pada sang dokter, dan berharap jawaban yang diterimanya takkan membuat keadaan jantungnya kembali melemah.
"Cukup memprihatinkan" dokter yang ber-name tag Mahendra itu menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Luka di kakinya cukup dalam, untungnya tusukan yang dia lakukan hanya menyebabkan luka pada lapisan kulit pertama sehingga keadaan janinnya aman."
Mereka semua menghela nafas lega mendengar penjelasan sang dokter meski sebenarnya merasa sangat miris dengan keadaan perempuan yang sangat mereka sayangi itu.
"Tapi―"
"Tapi apa?" Axel, pria ini dengan cepat menyahut ucapan sang dokter, hati yang tadinya mulai tenang kembali dibuat cemas oleh penjelasan yang ternyata belum sepenuhnya selesai.
"Yang memprihatinkan adalah keadaan psikisnya, sebelum melakukan jahitan pada lukanya dengan terpaksa kami menyuntikan obat bius karena dia yang tidak mau tenang dan terus memberontak. Saran saya, lebih baik bawa dia untuk melakukan terapi di Psikolog atau pengobatan di Psikiater karena saya yakin jiwanya sudah sangat terguncang" sebagai dokter yang telah lama menangani pasiennya itu, Hendra tahu betul bahwa bukan hanya fisik pasiennya yang membutuhkan pengobatan tetapi psikisnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMOR NO ALTAR [Selesai]
RomanceMeyra yang akan segera menikah harus terbelenggu oleh permintaan Prillia yang ingin menikah dengan calon suaminya, Ali.