Potter

1.5K 228 92
                                    

Kini Snape sudah berdiri di tengah-tengah simbol, dia mulai membayangkan Hogwarts tapi ntah kenapa saat ini yang dia pikirkan justru Godric Hallow. Dia mulai kembali mengingat kematian Lily di sana, mulai membayangkan makam Lily dan James Potter.

Snape dapat merasakan tubuhnya seakan terpotong-potong, dia sudah lama tak merasakan ini—rasanya ber-apparate yang bisa membuat tubuhmu terpisah kalau tak biasa. Benar. Snape tak di Hogwarts dia justru berada tepat di depan makam James dan Lily Potter.

"Profesor Snape?" sahut pemilik mata hijau yang selalu membuatnya luluh itu, dia merindukan mata itu.

"Potter," lirih Snape.

Di sisi lain, Olivia sedang berlatih piano di kursusnya. Dia sangat senang dengan rutinitas nya yang satu ini, berharap bisa menjadi pemain piano profesional yang terkenal di dunia musik. Bahkan kalau bisa ia ingin jadi komposer.

Tepat jam 5 sore, latihannya selesai. Dia berjalan pulang ke rumah dengan payung di tangan karena saat itu sedang hujan, tanpa dia tahu Orin sudah menunggunya di depan gedung kursus yang tampak tua dan suram. Olivia melewati jalan sunyi menuju ke taman bermain, dia lalu duduk di salah satu ayunan dan berayun pelan melepas payung yang tadinya melindungi tubuhnya dari hujan.

Olivia hanya melamun, tatapannya kosong. Ia memikirkan pasal orang tuanya yang belum kembali selama satu tahun, dia merindukan mereka. Walaupun hubungannya dengan kedua orangtuanya gak begitu dekat, tetap saja dia rindu ibunya yang membacakan dongeng setiap malam sebelum dia tidur lalu ayahnya yang sering—sebenarnya tak bisa dibilang sering, mengajaknya menengok kuda di peternakan.

Hujan terus turun mengguyur yang semakin lama semakin deras membahasi anak perempuan yang duduk termenung di atas ayunan.

"Nona!!" pria berjas yang dia tahu adalah Orin—pengawal pribadinya, kini menghampirinya, "anda bisa sakit kalau hujan-hujanan. Ayo pulang," ucapnya sambil mengambilkan payung Olivia yang terbawa angin agak jauh dari ayunan.

Anak perempuan itu bangkit dan memegang tangan Orin, dia selalu merasa aman dan tenang saat di dekat pria itu. Orin satu-satunya teman yang dia punya sebelum kemunculan anak laki-laki di rumah pohon.

Flashback on

"Hai Orin! Ayo main denganku," sahut anak perempuan yang usianya masih 3 tahun itu sambil tangannya menarik jas hitam seorang pria.

"Tapi kita baru pulang dari taman bermain, masa mau main lagi?" ucap Orin menoleh ke arah anak perempuan itu.

"Ayolah! Aku bosan, ayo kita main petak umpet," anak perempuan bernama Olivia itu tak mau kalah dia terus mengguncang tangan Orin dengan wajah memelasnya.

Orin menghembuskan nafasnya pasrah, "baiklah. Aku hitung satu sampai sepuluh, cepat sembunyi sana."

Olivia berlari kala Orin menghitung sambil menutup matanya dengan tangan. Dia mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi, lalu naik ke lantai tiga—lantai yang tak pernah dia kunjungi. Olivia takjub dengan benda yang ada di hadapannya, sebuah piano tua berwarna coklat yang tampak masih bagus.

"Vi? Di mana kau nona?" jerit Orin mencari hampir ke semua tempat di rumah itu, manor lebih tepatnya. Pria itu berhenti mencari, lagipula orang bodoh mana yang mau mengelilingi manor besar untuk mencari anak perempuan. Nanti dia juga muncul sendiri, pikirnya.

FRIEND [SEVERUS SNAPE] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang