Calm Down

459 94 111
                                    

Snape kembali ke kota tua tempatnya tinggal selama liburan musim panas, dia sangat senang mengingat empat tahun belakangan tinggal di rumah keluarga Potter. Sebenarnya ada alasan lain, Olivia katanya sudah siuman dari tidur panjangnya.

"Sev," panggil Olivia yang sedang duduk di atas rumah pohon bersama.

Snape naik ke atas, sejenak dia melirik ke arah Jack yang duduk di ayunan bawah pohon—memegang benda yang Snape tahu adalah ponsel. Dia mendudukkan dirinya di samping Olivia, lalu menatap ke arah yang juga anak perempuan itu lihat. Di jarak yang agak jauh dari rumah pohon mereka, ada Alan dan Dash yang sedang mencabut ilalang lalu menyatukan ilalang mereka dan setelah itu menariknya. Permainan lama.

"Aku tidak tahu kalau Alan bisa kenal Dash," ujar Olivia.

Snape menoleh padanya, "Alan bilang mereka satu sekolah saat SMP. Aku jadi teringat kalau kau tak sekolah empat tahun ini."

Olivia tersenyum miring, "ahaha—walau begitu aku ini tetap pintar," katanya meletakkan ibu jari dan jari telunjuk dengan jari lain tertutup di bawah dagu.

"Pede sekali. Jadi bagaimana sekolah mu selanjutnya?" tanya Snape dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Dia senang karena bisa bermain dengan Olivia setelah sekian lama.

"Aku ambil paket belajar lalu ikut tes supaya bisa sekolah bersama Alan dan Jack," jawab Olivia sumringah, dia tampak sangat semangat.

Snape lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu kembali menatap Alan dan Dash yang asyik sendiri. Olivia ingin bangkit, tapi Snape menahannya. Anak perempuan itu menaikkan satu alisnya, tanda ia bertanya.

"Kenapa kau tak sekolah di Hogwarts saja?" tanya Snape lagi, melepas genggaman tangannya dari Olivia.

Olivia menghembuskan nafasnya kasar, "aku sebenarnya mau, tapi kalau aku gunakan sihir aku bisa mati Sev."

Seketika hening, Olivia yang awalnya ingin menghampiri Alan dan Dash jadi malas melihat mereka begitu dekat.

"Apa kau menyukai seseorang?" tanya Snape lagi, kali ini wajahnya merah padam dan jantungnya seperti ingin berpindah tempat.

Olivia memasang ekspresi wajah datar, "ya. Tapi sepertinya dia tak memiliki perasaan yang sama, padahal kami sering berlatih bersama dulu."

Snape mencoba mengingat-ingat orang yang dekat dengan Olivia, dia berusaha berpikir dan berharap kalau itu dia tapi Snape sama sekali tak pernah berlatih—berlatih apa maksud anak perempuan itu? Lalu satu orang terbesit di benaknya, Alan.

Dengan wajah kecewa, Snape bertanya pada Olivia, "apa—orang itu Alan?"

Olivia diam sejenak, lalu mengangguk. Bagai ada ribuan panah yang menusuk jantungnya, lalu sebuah tangan yang mengoyak-ngoyak hatinya. Snape merasa kehilangan dirinya sendiri, ini kedua kali dalam sejarah hidupnya. Dia memejamkan matanya sejenak, lalu menghembuskan nafasnya perlahan.

"Ada apa Sev?" tanya Olivia, "oh iya jangan beritahu siapapun, aku kan malu."

Snape tak berniat menjawab, rasanya dia ingin menangis. Tapi Snape berhasil menahan emosinya, dia lalu berdiri dan turun dari rumah pohon.

"Mau ke mana Sev?" tanya Olivia yang ikut berdiri.

"Pulang. Ada tugas liburan musim panas yang belum ku selesaikan," jawab Snape berjalan cepat meninggalkan keempat temannya.

Olivia yang kebingungan kembali duduk dan membuka buku gambarnya, dia membuka lembaran demi lembaran lalu berhenti di satu gambar. Itu gambarnya dan Snape yang sudah lama ia simpan, bahkan ia menggambarnya lima tahun yang lalu. Olivia menganggap Snape sebagai sahabatnya, tak pernah lebih.

*

Di kamarnya, Snape hanya duduk di tepi ranjang. Ia tak ingin melakukan apapun bahkan sekedar, menolehkan kepalanya ketika sesuatu lewat di jendela kamarnya. Rasanya dia ingin sekali menenggelamkan diri, bahkan di kehidupannya yang sekarang pun tetap tak ada yang menganggapnya lebih dari teman.

Snape lalu berdiri menghadap cermin, nampak lah dirinya dengan rambut panjang berminyak dan tubuh yang kurus. Ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Alan Dimitri, orang yang disukai sahabatnya itu. Harus Snape akui, Alan memang tampan dan populer. Tapi—

"Sialan," makinya pelan.

Snape sedih, kesal, kecewa, dan marah di saat bersamaan. Rasanya seakan-akan takdir tak pernah berpihak padanya, selalu saja ia merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia. Mendadak petir menyambar bersahut-sahutan, hujan turun selanjutnya dengan deras. Di saat-saat seperti itu adalah yang Snape butuhkan, suara hujan membuatnya tenang. Ia melamun menatap jendela yang terdapat bintik-bintik air hujan di kacanya, keadaan di luar penuh kabut yang membuat pandangan mu menyempit.

"Snape," muncul Rama dari balik pintu.

Snape berbalik, "apa?"

"Ada seseorang yang mencari mu," ucap Rama lalu membuka pintu kamar lebar-lebar agar Snape bisa keluar dari kamar dengan mudah.

Snape berjalan menyusuri lorong lalu menuruni tangga, dia berjalan sangat lambat—malas rasanya. Di anak tangga terakhir, Snape mendapati Jack duduk di kursi yang ada di lorong dari ruang tamu ke ruang makan.

"Hai Sev," sapa Jack. Jack yang umurnya sudah 16 tahun itu tampak lebih gagah dari tahun-tahun sebelumnya.

Snape mendatangi Jack dengan raut wajah datar seperti biasa, "kenapa kau kemari?"

"Aku merasa diusir," balas Jack, "hanya ingin mengajakmu berbincang."

Snape lalu duduk di kursi sebelah kursi yang diduduki Jack, dia menatap lurus ke depan—enggan menoleh ke Jack. Anak laki-laki penggemar basket itu diam sejenak, lalu memberikan sebuah permen pada Snape.

"Mau?"

"Tidak."

"Ah baiklah, aku mulai dari mana ya?" gumam Jack bingung, "ah iya soal Alan dan Dash, mereka dekat bukan hanya satu sekolah tapi Dash jugalah yang memberikan semangat pada Alan agar tetap main violin selama Vi tak ada."

Snape menatap tajam Jack, "lalu hubungannya denganku."

"Kau pikir aku tak tahu kalau kau menyukai Vi," ucap Jack pelan lalu tersenyum licik.

"Jangan beritahu siapapun," desis Snape memperingatkan.

Jack menjentikkan jarinya, "nah itulah kenapa kau lemah menurutku, kau tak bisa mengungkapkan perasaan mu."

"Jadi?"

"Jadi, kau seharusnya mengatakan pada Vi kalau kau menyukainya," kata Jack penuh semangat dan tersenyum lebar.

Snape menatapnya heran, "lalu?"

"Lalu mungkin Vi akan membuka hatinya untuk mu," kata Jack lagi, "walau itu sulit, pasalnya walau dekat dengan Dash ia juga menyukai Vi."

Snape kembali kecewa, "jadi Alan dan Vi saling suka?"

Jack mengangguk, "tapi untungnya mereka sama-sama tak tahu. Vi mengira Alan menyukai Dash, dan Alan mengira Vi menyukai mu."

"Jadi?" tanya Snape masih tak mengerti. Dia memang tak berbakat dalam hal ini, untung ada Jack.

"Jadi, kau bisa memanfaatkan hal itu, mungkin," Jack lalu bangkit, "nah sampai jumpa Severus."

Setelah Jack pergi, Snape merasa sedikit ada harapan. Anak itu bermanfaat juga rupanya, pikirnya. Tapi tetap saja, bagaimana kalau Vi dan Alan menyadari hal itu. Mereka pasti....

#

Yo Yo Yo !! Gak tau mau bilang apa. Kalian aja deh, mau bilang apa soal cerita ini. Terserah deh, mau saran ataupun kritik.

Thank you for read and vote my story❤️

See you bye bye ✌️

FRIEND [SEVERUS SNAPE] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang