"Padahal mereka yang pertama menyerang, kenapa kita yang disuruh bersih-bersih perpustakaan?"
Itu omelan ketiga Maya dalam sepuluh menit ini. Usai ceramah panjang dari Bu Hasita tentang pengetahuan kesucian sekolah bagi siswa-siswi, disisipi pertanyaan-pertanyaan guna penyelidikan tentang siapa yang memulai pertengkaran, mengapa perkelahian terjadi, dan alasan kenapa perkelahian fisik bukan jalan keluar dari perdebatan. Kami disuruh menulis refleksi diri sebanyak tiga lembar dan menerima hukuman membersihkan perpustakaan selama seminggu.
Aku mencelupkan kain pel lantai dalam baskom dan memelintir ujungnya. Rintik-rintik air berjatuhan.
"Ini lebih baik daripada bersih-bersih toilet. Kita beruntung Bu Hasita tahu rekam jejak kejahatan gengnya Clara."
Sebagai informasi, ini bukan kali pertamanya gengnya Clara berbuat ulah. Valerie, anteknya, sudah dua kali kedapatan mencuri. Melly dan Clara pernah kedapatan merokok di halaman belakang sekolah. Bu Hasita adalah guru yang gemar bergosip, dia tahu masalah itu semudah mengingat telapak tangannya. Kantor guru memang tempatnya gosip-gosip murid tersebar.
"Tapi, kita korban."
"Kamu yang menjambak rambut Clara duluan. Dari sisi mana pun, kita penyerangnya."
"Dia mengataimu duluan!" sergah Maya, tidak mau kalah. "Kamu nggak tahu bagaimana perasaanku bersembunyi di toilet, mendengar semua bacotan murahannya. Dia psyco. Aku nggak bisa bayangkan gimana rasanya selama ini kamu temanan sama dia. Kalau kamu nggak datang dan meneriaki mereka, aku sudah siap melemparkan gayung ke mukanya."
Aku tertawa puas. Keberadaan Maya adalah kejutan terbaik dari perkelahian tadi siang. Kalau dia tidak ada, aku pasti akan mempermalukan diriku sendiri lagi. Aku pasti memasrahkan diri dihujat sedemikian rupa, lalu kabur karena tidak tahan, sambil menangis meraung-raung. Clara dan gengnya akan merasa menang.
Kupeluk leher Maya.
"Makasih, karena telah ada di sana membelaku," kataku, segenap hati. "Maaf sekali, kamu jadi mendapat hukuman ini."
Maya memegang tanganku yang melingkari lehernya. "It's okay, Sis. Dari dulu aku memang ingin sekali memukul muka Clara. Aku sering memikirkan akan semenyenangkan apa kalau aku berhasil melakukannya, tiba-tiba kamu datang dan memberiku kesempatan ini."
Aku tersenyum kecil. "Jadi, menyenangkan?"
"Lebih menyenangkan dari khayalanku!" sahutnya heboh dan tertawa jahat.
Aku ikut tertawa, tapi tidak berlangsung lama karena Maya menyambar, "Kamu." Telunjuknya beberapa senti dari hidungku. "Kalau ada orang cari masalah sama kamu atau merisak kamu lagi, tatap mereka tepat di matanya, lalu maki. Ingat!"
Aku mengangguk. "Tatap matanya dan hujat," ulangku.
"Kamu bisa menghujat, kan?"
Aku mengangguk malu-malu. Teringat lagi dengan kejadian di toilet. Hujatanku tadi sangat lembek, jadi malu kalau diingat-ingat. Harusnya aku bisa lebih tegas lagi.
"Baguslah." Ia menepuk tanganku yang merangkul lehernya pelan. Kemudian, seketika membelalak sampai alisnya terangkat tinggi ketika menatap tanganku. "Tunggu. Tanganmu .... Kamu memegang mukaku dengan air bekas cuci!" Ia menggeliat-geliatkan lehernya ke luar dari pelukanku, menyodok pinggangku dengan siku agar aku melepasnya.
Aku tertawa waktu Maya mencium kerah bajunya dan mengeluarkan ekspresi mau muntah.
Dirga yang sejak tadi memajang buku-buku pinjaman di rak buku, turun dari tangga lipat kayu. Ia datang menyodok bahuku dengan bahunya.
"Kalau kamu mau balas budi, kamu bisa mentraktir kita makan pizza habis ini. Gimana?"
Dirga menatapku intens, menunggu persetujuanku. Sebelum kain lap melayang ke mukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...