26. A Week Before Christmas

2.2K 519 27
                                    

Fabiola Rumondor mengabariku akan menghabiskan hari libur tahunannya di Mojokerto bersama kembarannya. Aku mengajaknya ketemuan sesekali. Kami bukan lagi tetangga sejak rumahnya pindah ke tengah kota, dan sejak ia pindah ke Jakarta hubungan kami merenggang. Dia memang bukan teman masa kecil favoritku, namun tentu baik menyambung pertemanan dengan seseorang yang berbagi kenangan kanak-kanak denganmu. Jadi, hari ini aku mengajaknya main ke rumah.

"Mama pernah lihat pohon natal dihias bunga kembang palsu di toko hadiah. Kelihatannya simpel dan manis. Apa Mama coba cabut bunga palsu di pot dan pasang di sini?" ujar Mama, menunjuk bagian kosong pada pohon natal.

Aku, Kak Nara, dan Mama sedang berkumpul di ruang tengah, untuk menghias pohon natal. Sudah menjadi agenda wajib keluarga kami memasang pohon natal seminggu sebelum hari Natal. Kami mendirikan pohon cemara tiruan di atas meja kopi, melingkarinya dengan lampu hias dan slinger rumbai, menggantung hiasan pernak-pernik natal, dan menaruh kotak kado-kado kosong di bawah pohon.

Dulunya, kado-kado itu asli. Aku masih ingat waktu kecil, pada pagi Natal, aku dan Kak Nara yang masih memakai piama, berlari menuruni tangga menuju pohon natal untuk membuka kado kami. Hadiahnya selalu jauh dari ekspektasi. Seperti sepatu sekolah, kaos kaki, tempat pensil plastik polos, atau semua hadiah tidak menyenangkan dan bukan mainan atau boneka, yang sialnya ternyata kubutuhkan. Suatu hari, saat aku mengeluhkan kadonya untuk kesekian kali, Kak Nara memberitahu alasan kenapa semua hadiah itu jelek dan berguna, itu karena hadiah itu tidak diberikan oleh Santa, karena Santa itu tidak ada, dan orang tua kami yang membelinya di toko swalayan.

Setelahnya, aku tak lagi menyelipkan kertas permintaan ke kaos kaki natal. Tradisi hadiah natal perlahan pudar, menjadi bagian dari kenangan natal masa lalu.

Aku mundur beberapa langkah, memperhatikan pohon natal setengah jadi yang berdiri di atas meja kopi dari kejauhan. Slinger warna merah dan emas melilit dahan-dahan pohon. Pada ujung tangkai-tangkai pohon terpasang lampu pijar kecil permanen. Beberapa tangkai masih butuh ditekuk agar dahannya lebih mekar.

"Agak kerame-an disandingkan sama slinger dua warna. Lampunya mau pakai yang kuning, kan?"

"Mmhm. Kuning lebih mewah." Tangan Kak Nara mengaduk kotak ornamen natal. "Mau taruh kapas di bawah pohon supaya kelihatan seperti salju? Aku punya satu bungkus di kamar."

"Boleh." Mama bersedekap, mengamati lagi pohon dengan kepala miring. "Tapi, Mama rasa pohon natalnya butuh ornamen yang lebih ramai supaya beda sama tahun kemarin. Di rumah Tante Delima, mereka memasang pohon natal putih tahun ini, menggantung pita merah, bola merah, dan hiasan kado. Pohon natalnya cantik sekali," kata Mama, membuatku mengerti ke mana pembicaraan ini mengarah.

Tante Delima adalah adik papa yang suka pamer. Pekerjaan suami, peringkat sekolah anak-anak, tas bermerek, sofa wingchair kain sutera, bahkan makanan anjing mini poodlenya, Apple-sejak Tante Delima memakai facebook ranah pribadinya menjadi milik publik-sering ia pamerkan di setiap acara keluarga. Mama tidak suka sifatnya itu. Terutama karena Tante Delima sering membanding-bandingkan anaknya dengan aku dan Kak Nara. Ini menciptakan persaingan terselubung di antara mereka.

"Bagaimana kalau kita pakai lampu bola kecil yang ada di gudang?" usulku.

Melihat Mama memerhatikan, aku melanjutkan, "Kita bisa mengurangi lonceng dan gantungan Santa, menggantinya dengan bola emas-merah. Kalau tidak cukup, tambahkan bola perak yang besar sedikit. Ada ornamen natal lain juga di gudang, dan lampu LED bentuk rusa."

Mama mengusap bawah dagunya. "Menambah lampu bola terlalu ramai, mungkin kita bisa menggantinya dengan lampu kuning yang biasa."

Aku mengangguk. "Kita bisa menaruh bunga kembang kecil di bawah pohon, menancapnya dengan busa agar bunganya kelihatan tumbuh."

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang