30. To Say

2.2K 490 9
                                    

Menjadi gadis SMA yang untuk pertama kalinya menikmati liburan sebagai seorang remaja hampir dewasa kubayangkan akan penuh dengan warna-warni dan petualangan. Namun, sebelum itu terjadi, aku menemukan diriku berdiri di koridor kelas dengan seluruh siswa berwajah cemas seperti sedang menanti vonis mati, bukannya menunggu lembar hasil kerjanya selama enam bulan sebentuk angka-angka kaku yang dibagikan wali kelas dalam bentuk buku tebal berjudul, "Laporan Hasil Belajar Sekolah Menengah Atas".

Hari ini hari penerimaan raport.

Seperti yang sudah-sudah, semester ini pun memberiku perasaan tidak menentu yang sama. Seperti berada dalam akhir suatu cerita dan bernostalgia tentang apa yang kulakukan sepanjang semester ini. Cerita yang melelahkan dan menyenangkannya. Perasaan lainnya yang kurasakan pastilah gugup. Hasil ujian semesterku berjalan tidak terlalu mulus. Aku mendapat angka tujuh puluh lima di tiga pelajaran dan lainnya kisaran delapan puluh.

"Suasana di dalam mencekam sekali. Kurasa aku akan muntah sebelum menerima raport kalau ditatapi dengan tatapan menuduhnya Pak Dharma," sahut Maya yang bersamaku di lorong saat menunggu nama kami dipanggil.

Aku sedang menyiapkan kata-kata kalau-kalau hasil raport-ku berada di bawah standar Mama sembari menceritakan, "Semua orang protes kenapa Adella sampai sepuluh menit menerima raport, keluar-keluar matanya sembap. Ternyata, dia nggak mau keluar karena diceramahi sampai menangis."

Kami melempar tatapan simpatik pada Adella yang sedang ditenangkan kedua temannya di depan tangga.

"Buat soal Matematika itu butuhnya logika bukan perasaan, makanya Bu Sania kayak gitu," kataku mencoba memahami. Wali kelasku yang satu itu dasarnya berwatak keras. Orang-orang memanggilnya 'Si Lidah Pembunuh' untuk suatu alasan.

"Ugh. Kayaknya aku beneran mau muntah." Maya membekap mulutnya dan mengeluarkan suara mau muntah.

Aku berjinjit mengintip dari jendela, kira-kira sebentar lagi namaku dipanggil.

"Kamu ingat pesta perpisahannya Dirga diadakan bentar malam, kan?" Maya mengingatkan. "Temani aku beli balon ya. Kue sudah disiapkan sama si kembar. Kunci serep rumahnya Dirga juga sudah di aku, jadi kita tinggal datang ngedekor."

Sebongkah batu imajiner dicemplungkan masuk dan menekan dadaku. Aku menahan sakitnya dengan senyum rikuh, yang tidak Maya sadari. Dia melanjutkan diskusi idenya tentang pesta perpisahan Dirga. Matanya berbinar menjelaskan tema dekorasinya adalah klub malam tahun 90-an dengan lampu bulat disco, balon-balon diterbangkan, lampu sorot warna-warni yang ia usulkan diganti dengan memasang lampu natal di dinding, dan sebagai-sebagainya.

Setiap katanya kemudian tidak terdengar dan gerak bibirnya tidak terbaca. Pikiranku melayang jauh dari koridor kelas satu, terbang ke bukit belakang rumah kami di sore tiga hari lalu.

"Aku akan pindah akhir tahun ini," kata Dirga. Anak-anak rambutnya bergoyang dibelai angin. Langit dicoreti warna oranye pekat, malam sebentar lagi datang.

"Secepat itu?"

"Kepindahan papa dipercepat. Penyewa rumah kami yang lama juga sudah pindah, jadi nggak ada alasan buat menunda-nunda."

Aku menelan kekecewaanku kalau ternyata aku bukan variabel yang sama pentingya dengan tempat tinggal.

"Kamu sudah nggak apa-apa?"

Dirga melihatku, tampak terkejut. Ia habiskan sekian detik untuk menyelami perasaannya sebelum mengangguk.

"Kami memutuskan untuk merelakan Mama. Selama ini kami berusaha menghindari fakta kalau Mama sudah nggak ada dan hidup seolah nggak terjadi apa-apa. Ternyata, duka nggak bisa diobati dengan mengganggapnya nggak ada tapi dengan menerimanya. Langkah pertama mewujudukannya dengan pindah ke rumah lama. Kenangan mama semua ada di sana, kuburnya juga."

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang