1. When Two Became Three

8.5K 1K 78
                                    

Empat tahun kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat tahun kemudian ....

Kegaduhan adalah suatu bentuk kenormalan hidup bersama di pagi hari. Mama berteriak mengajak sarapan dari bawah. Ayah membalik lembaran koran hari ini dan bergumam kata-kata pelik seperti 'korupsi, resesi, saham', melupakan kopi di meja sampai kepulan asap di atasnya pergi.

Kakak keluar dari ruang cuci, menunjukkan jaketnya dan merajuk pada Mama seperti bayi cengeng, "Kakak sudah berkali-kali bilang jangan sentuh barang-barang di kamar. Kakak harus pakai jaket ini hari ini! Tapi, sekarang. Lihat, jaketnya basah! Argghh ... menyebalkan sekali!"

Mama menghela napas panjang, tak ingin berdebat dengan remaja delapan belas tahun yang punya emosi labil. Ia mengeringkan jaket itu memakai hair dryer.

Di tengah semuanya itu, aku menyesap teh manis hangatku dan menggigit pinggiran roti oles cokelat. Dengung hair dryer dari kamar, suara lembaran koran yang dibalik, harum kopi yang menguar-semua benar-benar sesuai seperti seharusnya. Hari tenang yang biasa.

Namun, kuharap hari ini berjalan tidak terlalu tenang.

Jam menunjuk pukul enam empat puluh menit. Buru-buru, kusambar tas di lengan kursi dan pamitan pada Papa dan Mama. Kakak menyuruhku menunggunya, tapi aku pura-pura tuli dan mengacir ke luar. Rencanaku bisa hancur kalau menunggunya.

Kakiku berjinjit, menengok pembatas tembok sebelah yang dibuat setinggi tubuh orang dewasa. Mengecek jam tangan lagi. Harusnya dia sudah datang sekarang.

Harapanku hampir merembes ke luar dariku ketika kudengar suara pintu dibuka di rumah sebelah. Cepat-cepat, aku melompat ke depan pagar. Menyisiri poni rambutku dengan jari tangan, mengusap bagian luar bibir dan membersihkan gigi dengan lidah-takut menghadiahinya gigi berlumuran cokelat, dan menepuk-nepuk debu halus yang menempel pada lengan cardigan merah buluku.

Alami dan sempurna. Alami dan sempurna.

Kuperagakan senyum paling alami yang kupunya, lalu melangkah santai ke luar pagar. Pada waktu hampir bersamaan, cowok tinggi memakai hoddie abu-abu, keluar dari pagar sebelah, menggiring motor vespa hitamnya. Rambutnya agak basah, kemungkinan karena telat bangun. Bingkai kacamata ia dorong naik ke batang hidungnya saat menatapku.

"Telat lagi?" sahutnya. Dengan nada tidak ramah, tanpa senyum atau sekedar menarik sudut bibir. Seolah-olah dia akan kena penyakit kulit bila tersenyum.

Aku memutar pergelangan tanganku, menunjuk jam tangan. "Masih ada dua puluh menit sampai jam tujuh. Dari sini ke sekolah cukuplah tujuh menit."

Dirga menendang stand motor, memarkir motor depan rumah. "Datang tepat waktu, hitungannya tetap telat. Waktu kelas satu, aku datang sebelum jam setengah tujuh. Hh, emang yah, anak zaman sekarang beda."

"Kalau aku telat, terus kamu apa? Telatmu konsisten?"

"Ini privilege anak kelas dua."

Kalau siswa sekolah diserang penyakit tiap kenaikan kelas, maka namanya pasti virus mabuk senioritas. Sejak SMA, Dirga selalu merasa sok tua, sok bijak. Siapa juga pria dewasa yang bawa susu kotak kemana-mana?

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang