"Sudah lega?"
Bocah laki-laki yang berjongkok di sampingku mengintip dibalik tangan terlipat di atas lutut. Cuma sebentar, sebelum kembali menidurkan kepala di lengan dan mengusap bekas air matanya.
Awan-awan gelap mengumpul lagi di atas dalam jumlah lebih banyak. Aku memandangnya harap-harap cemas. Kami berjongkok di depan mobil boks. Petugas pindahan tidak lagi mondar-mandir di sana. Perlengkapan rumah sudah dibawa semua dan sepertinya sedang diatur tempatnya di dalam.
"Mau balik?" tanyaku ragu-ragu.
Anak cowok ini terus diam sejak ia selesai menangis. Entah dia malu menangis meraung-raung di depan anak cewek atau diam memang kepribadiannya. Kami baru ketemu beberapa menit lalu dan ini kali pertamaku melihat langsung cowok menangis. Daripada merasa kasihan, aku lebih prihatin pada alasan dibalik semua tangisnya. Membayangkan sesedih apa kehidupannya sebelum ini sampai tangisnya mirip bendungan yang pecah, dan apakah ini kali pertamanya menangis. Rasa-rasanya ia sudah memendam kesedihan cukup lama. Sampai hari ini.
"Ke mana?" Dia menyeka ingus dengan lengan jaketnya-maksudku jaket merahku yang kupinjamkan padanya saat menangis. "Aku tidak punya rumah."
Aku menunjuk rumah di belakang.
"Itu rumah papaku."
Dia masih saja bersikeras rumahnya ada belasan kilometer dari sini.
"Kamu bisa tinggal di rumahku. Aku yakin mama pasti tidak akan keberatan kalau tambah anak cowok satu." Aku meringis saat teringat, "Kakakku galak sih, tapi dia cukup murah hati untuk kasih cemilan."
Dia mendongak, keningnya terlipat-lipat. "Aku anak tunggal dan selamanya berencana tetap seperti itu," tolaknya, keberatan.
Dan itu kali terakhir aku mencoba mengusulkan sesuatu pada cowok bebal ini. Dia tidak punya rumah, tapi setiap kali aku menawarkan ide, cowok ini selalu menolaknya. Maklum, pindah ke lingkungan baru memang selalu tidak mudah. Aku saja selalu deg-degan tiap kenaikan kelas, takut tidak bisa berbaur dengan teman dudukku yang setiap tahun selalu berubah-ubah.
"Kamu merindukan mamamu?"
Dia melamun sebentar, menerawang ke bawah kakinya, tempat aspal berdebu yang kotor. "Kadang-kadang. Aku masih kadang menganggap mama hidup, sampai ada hal yang membuatku sadar, dia sudah nggak ada."
"Apa yang kamu lakukan kalau kamu merindukannya?"
Dia membuka tutup mulutnya, tapi tidak mengeluarkan kata. Membiarkan pertanyaan itu kadaluarsa dengan sendirinya, mengambang di ruang antara kami. Pada saat itu, kurasakan rintik hujan menyentuh kepalaku. Gerimis akhirnya datang.
Kuseret sepeda pink-ku lambat-lambat setelah pamit pulang padanya. Mengintipnya diam-diam, masih ragu meninggalkan. Aku sudah menyuruhnya masuk rumah, tapi dia masih mematung duduk di atas koper. Intensitas hujan makin menjadi-jadi. Kondisinya agak mengkhawatirkan.
"Anak kecil," panggilnya tiba-tiba. Kami baru berpisah setengah meter. "Kamu tahu di mana bukit dekat sini yang punya pohon berbunga kuning?"
****
"Dirga!"
Teriakanku bergema sepanjang jalan, tak cukup lama dikalahkan paduan suara derik sekelompok jangkrik yang berisik. Kudengar sayup-sayup lolongan panjang anjing serigala yang menembus masuk ke gendang telinga dan mengaktifkan seluruh inderaku yang lain lebih tajam, memberi efek merinding dan membuatku mempercepat langkah. Entah nyata atau itu hanya paranoiaku, tidak ada yang tahu pastinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Not A Good Love Story [COMPLETED]
Teen Fiction🌸 Wattys Winner 2021 kategori "Young Adult" 🌸 Cerita pilihan @WattpadYoungAdultID Juni 2022 Dalam kisah Romeo dan Juliet, kita diajarkan bahwa cinta butuh pengorbanan. Dalam kisah The Notebook, cinta diibaratkan sebuah rumah, walau berkali-kali me...