22. Calm After The Storm

2.2K 527 11
                                    

Dua minggu berlalu sejak peristiwa di bukit waktu itu. Rasanya aneh. Hari yang kupikir akan membawa perubahan, entah berupa kutukan atau keajaiban, malah berakhir begitu saja. Lenyap begitu saja, seperti pusaran angin badai yang memuai menjadi embusan angin tenang. Aku tidak mengharapkan susulan badai, tapi rasanya salah membiarkan masalah-masalah rumit yang terjadi di malam itu berlalu begitu saja, tanpa penyelesaian.

Di malam itu, Dirga mengantarku pulang seperti biasa. Matanya memang agak sembab, tapi dia tampak luar biasa tenang saat bicara denganku. Dia sempat menasihatiku untuk tidak naik taksi online sendirian malam-malam karena marak terjadi pencabulan dan penculikan. Dia tertawa waktu kuceritakan bagaimana pucatnya wajah supir taksi waktu kubilang tujuan pengantaranku ke bukit yang terlantar malam-malam begini (mungkin dia mengira aku hantu?). Seluruh gerak-geriknya tampak sangat-sangat normal seolah hari itu dia tidak pernah kabur dari rumah dan tidak pernah mendamprat papanya gandengan tangan dengan 'kekasih'-nya yang belum anaknya restui.

Lama-lama aku sadar sikap tenangnya itu bukan berarti ia menyerah. Ia sedang membiarkan angin badai berembus di depan mukanya sampai tiba waktunya ia tersedot ke dalam. Ia berusaha menghindar menghadapi semuanya.

Aku tahu selama minggu ini Dirga tidak pernah lagi menginap di rumah Maya. Aku juga tahu setiap pulang sekolah dia selalu singgah ke warnet atau rumah Edo sampai hampir tengah malam agar tidak berpapasan dengan papanya di rumah. Juga tahu soal perkembangan hubungan papanya Dirga dengan Tante Lami dari mama, sedang berjalan ke status lebih tinggi dari teman.

Pada akhirnya, semua yang dibiarkan terbengkalai ini, menemukan jalannya sendiri.

Kami kembali menjalani hari-hari yang biasa. Bekas kejadian malam itu perlahan memudar. Atau, mungkin tidak sepenuhnya.

"Kakak senior mawar itu nggak datang bawa roti lagi." Nadya menusuk tomat cherry terakhir di kotak bekalnya, sengaja menyenggol lenganku dengan sikunya. "Kamu nolak dia?"

Akibat senggolannya, arsiran semburan api yang dikeluarkan ayam jago berjambul tinggi yang sedang kugambar keluar dari garisnya. Dengan terpaksa aku menghapusnya. "Jangan nyenggol-nyenggol, ah. Ini logonya nggak jadi-jadi," tukasku, meniup ampas-ampas penghapus karet di atas buku.

"Oh! Iya maap-maap." Dia memindahkan tangannya.

Aku menggambar lidah api ulang. Nadya mengamati gambarku lekat-lekat seperti sedang mempelajarinya. Gambar ayam menyemburkan semburan api kecil ini memang buatnya.

Kakaknya Nadya ingin membangun kedai ayam geprek di rumah lama mereka. Masih dalam tahap pengerjaan-resep dan bangunannya sudah oke tinggal mengurus surat izin, logo, dan tetek bengeknya. Melihat aku sedang menggambar di sela waktu istirahat memberinya ide minta dibuatkan ilustrasi logo warung. "Kalau-kalau kakakku cocok," katanya, lalu janji menggajiku dengan tahu tek kantin. Aku tentu setuju, menyenangkan saja kalau gambarku dijadikan milik orang lain. Dipajang di setiap kardus makan warung bersanding dengan nama "Ayam Geprek Puedes Poll". Bayangkan saja bangganya.

Melly-teman satu kelompok Ekonomiku-duduk menyamping di kursi depan, menepuk tangannya yang dilapisi jejak-jejak bumbu kuning Cheetos. Bungkus kemasannya terbuka di pangkuannya. Kami berada di kelas dan sedang jam istirahat siang.

"Nola sama cowok itu bukannya temanan?" Ia mengunyah Cheetos dalam mulutnya pelan-pelan seperti nona bangsawan Keraton yang santun dan menelannya. "Cowok yang sering antar pulang Nola kan? Yang bawa motor itu?"

"Hah? Beneran?" sambar Nadya.

"Kapan aku pernah naik motor sama dia?" sahutku bersamaan.

Aku dan Nadya bertukar pandang dengan alis mengerut seperti dua anak kembar yang sinkron, padahal sedang saling menyangsikan. Nadya bicara lebih dulu, "Kamu kok nggak tahu kamu lagi dekat sama Mark? Waktu kamu pulang bareng dia naik motor, kamu kira dia lagi ngojek?"

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang