23. Gloomy Night, Gloomy Days

2.2K 524 26
                                    

Sudah tiga hari ini aku mengirim banyak pesan kepada Maya :

"May, are you okay? Aku dengar kamu bertengkar sama Kak Rangga hari ini. Semua orang membicarakannya seharian. Btw, aku bisa datang ke rumahmu sekarang kalau kamu mau."

"Aku dengar kamu sakit. Kamu di rumah? Ketua kelas meminjamimu catatan."

"Apa pun rumornya aku nggak percaya. Cuma mau kamu tahu."

Ada juga pesan lain yang singkat dan agak memaksa :

"Hei. Kalau kamu lihat pesan ini, balas."

"Berhentilah bolos! Absensimu bisa-bisa nggak cukup untuk prasyarat naik kelas."

Hasilnya, nihil.

Maya tidak kunjung membalas pesanku. Telponku segera masuk ke voicemail. Datang ke rumahnya pun bukan opsi terbaik. Mamanya selalu ada tiap aku mengetuk pintu untuk bilang, "Maya sedang tidur. Ada yang mau kamu sampein ke dia? Nanti biar Tante kasih."

Keadaan menjadi pelik di sekolah setelah rumor mencengangkan itu mencuat dan menyebar secepat jari-jari pelajar mengetik. Hari pertama Maya absen, seluruh sekolah sudah tahu rumor tentangnya. Tidak terkecuali, para guru. "Kalau kamu butuh orang dewasa untuk diajak diskusi, kamu bisa mengatakan semuanya pada ibu," kata Bu Hasita simpatik, ketika menghentikanku di lorong dan mendadak mengungkit kabar soal Maya. Rupanya kecepatan skandal itu telah menembus kisi-kisi jendela gelap ruang guru.

Mudah buat mereka percaya rumor tak berdasar itu. Bagaimana tidak, kemarin Maya mengamuk di lorong, memaki pacarnya layaknya orang kesurupan tanpa pandang bulu seberapa banyak penontonnya. Image Maya yang sudah buruk, ternoda makin hitam.

Rangga, pacar setia yang diharapkan menjadi pihak penengah, bungkam. Tentu saja, semua rumor itu berpihak padanya. Menggambarkannya sebagai orang suci yang lidahnya tidak pernah berucap kutukan dan darahnya tidak terkontaminasi kejahatan. Kekasih manis berhati malaikat yang terbuang. Dari kacamataku, dia lebih buruk dari malaikat pencabut nyawa.

Setelah tiga hari menahan kuping panas tanpa menemukan jalan ke luar, hari ini aku memutuskan mendobrak rumah Maya. Kutumpahkan isi toples garam ke kantung bening. Bongkahan garam luruh cepat, sampai habis dari dasar toples.

Rencananya begini: aku datang ke rumah Maya untuk meminta garam, dan selagi Tante Amel masuk mengambil garam, aku mengacir naik ke kamar Maya. Maya tidak pernah mengunci pintu, jadi aku bisa mendobraknya dan memaksa Maya menemuiku.

Tanganku sedang memutar tutup toples garam rapat-rapat ketika terdengar suara rendah cewek dari belakang, "Sekalian ambil stok garamnya mama di laci sebelah kiri."

Kusembunyikan toples garam itu ke belakang punggung cepat-cepat, satu tanganku memegang pinggir meja konter dapur, menyandarkan punggung ke meja.

"Ka-kakak," panggilku, terbata.

Kak Nara menaruh buku tipis berjudul "Detik-Detik UN Biologi SMA" di meja makan dan duduk di kursinya, tangannya mencomot sebiji apel dalam mangkuk buah dari kayu.

"Mau ke mana bawa garam sebanyak itu?" tanyanya sambil menggigit apel yang kulitnya belum dikupas. Ada sesuatu dalam bunyi gemeretak renyah saat dia mengunyah daging apel, yang membuat nyaliku perlahan-lahan ciut.

Aku menelan ludah gugup. "A-aku butuh toplesnya buat karya ilmiah di kelas."

Dia menelan apel dengan susah payah, sari apel meresap ke luar ke tepi mulut. "Buat karya ilmiah atau buat ke gunung di belakang kompleks?"

Aku memutar bola mata. "Buat karya ilmiah!"

Kak Nara tidak mendengarku. "Yang kamu lakukan hari itu benar-benar nggak bertanggung jawab. Ngapain kamu malam-malam pergi ke bukit belakang cuma karena mendadak demen lihat pemandangan malam kota dari atas bukit? Nggak mau jawab telepon, pulang sama cowok tengah malam lagi. Ya pasti dapat marah mama-lah!"

This is Not A Good Love Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang